"Ini mencerminkan ketidakadilan bagi tenaga pendidik," ucap Suci.
Ia menilai, dosen PTNBH tetap memiliki kewajiban yang sama dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun tidak mendapatkan hak yang setara rekan-rekan mereka di satker dan BLU. Meskipun, dosen PTNBH menerima Insentif Berbasis Kinerja (IBK), tiap PTNBH tidak memiliki kemampuan finansial yang sama untuk membayar remunerasi dosennya dan menghasilkan ketimpangan kesejahteraan antar kampus.
Sehingga, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin hak kesejahteraan seluruh tenaga pendidik tanpa diskriminasi. Lebih lanjut, kebijakan ini bersifat memecah belah.
"Adanya kategorisasi dosen remunerasi dan dosen non-remunerasi menjadi salah satu faktor yang membuat para dosen dan sivitas akademika yang terdampak oleh kategorisasi ini sulit untuk berempati satu dengan yang lain. Juga semakin sulit untuk bersolidaritas. Upaya memecah belah ini akan terus kami lawan dengan bentuk memberikan solidaritas kami kepada dosen-dosen non-remunerasi yang tengah menuntut haknya," ungkapnya.
Di satu sisi, Suci mengatakan bahwa pemerintah menuntut peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing global, tetapi di sisi lain tidak memberikan dukungan finansial yang adil dosen di PTNBH.
Ketimpangan ini semakin memperburuk kondisi akademisi yang terus berjuang di tengah berbagai tantangan struktural.
Selain itu, SPF UGM juga mendesak Kemendiktisaintek menerbitkan aturan yang menjamin akses masyarakat atas pendidikan tinggi dan pemenuhan hak pekerja di sektor tersebut sebagai bagian dari tanggungjawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.
Load more