tvOnenews.com - Wudhu merupakan salah satu syarat sah dalam melaksanakan shalat dan berbagai ibadah lainnya dalam Islam.
Selain itu, wudhu berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan diri dari hadas kecil maupun besar. Wudhu sendiri adalah tindakan membasuh bagian-bagian tubuh tertentu dengan air bersih sebagai bentuk persiapan spiritual sebelum melaksanakan ibadah.
Shalat, sebagai ibadah utama dalam Islam, sangat bergantung pada kesucian seseorang, dan wudhu adalah cara utama untuk mencapai kesucian tersebut.
Namun, sering kali muncul pertanyaan di kalangan umat Islam mengenai apakah tindakan tertentu dapat membatalkan wudhu.
Salah satu pertanyaan yang kerap muncul adalah mengenai menyentuh kemaluan setelah berwudhu, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, misalnya karena gatal.
Dalam hal ini, Buya Yahya memberikan penjelasan yang menarik dan mendalam.
Melansir dari YouTube Al-Bahjah TV, Buya Yahya menjelaskan tentang hukum menyentuh kemaluan setelah wudhu.
Beliau mengutip salah satu pertanyaan dari jamaah yang berbunyi, "Saya baca buku hadist, kalau tidak salah ada hadist yang mengatakan ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasul. Bahwa laki-laki itu menyentuh kelaminnya setelah dia wudhu. Kemudian dia bertanya kepada Rasul apakah wudhunya batal? Kata Rasul itu tidak batal, karena sesungguhnya kelamin itu adalah sepenggal dari badanmu. Mohon penjelasannya Buya," ujar salah satu jamaah.
Buya Yahya menjelaskan bahwa kitab Bulughul Maram adalah kitab Al Haditsul Ahkam yang merangkum hadist-hadist hukum.
"Mazhab tersebut mengatakan menyentuh kemaluan dengan perut jemari atau telapak tangan adalah membatalkan wudhu," terang Buya Yahya.
Kitab ini disusun oleh Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani, seorang amirul mukminin dan imam besar dalam ilmu hadist.
Dalam kitab tersebut, semua riwayat dihadirkan termasuk yang berasal dari Imam Ali bin Abi Thalib.
Buya Yahya menegaskan bahwa memahami ilmu fikih tidak bisa hanya dengan membaca hadist saja tanpa memahami konteks dan interpretasinya dalam ilmu fikih.
Buya Yahya menambahkan bahwa menurut tiga mazhab yakni Maliki, Hambali, dan Syafi'i, menyentuh kemaluan dengan perut jemari atau telapak tangan adalah membatalkan wudhu.
Sedangkan riwayat yang menyebutkan sebaliknya adalah riwayat Abu Hanifah yang dikutip dari Imam Ali bin Abi Thalib.
Buya Yahya menekankan pentingnya mempelajari ilmu fikih secara mendalam sebelum membaca kitab Al Haditsul Ahkam untuk menghindari kesalahpahaman.
"Jadi yang sudah belajar ilmu fikih baru kemudian ke kitab Al Haditsul Ahkam jadi nyambung tentang rentetan adilla. Baca itu langsung, bisa tersesat nanti," ujar Buya Yahya.
Beliau menjelaskan bahwa menurut mazhab Imam Syafi'i, menyentuh kemaluan dan lubang belakang anak adam, baik anak kecil maupun besar, membatalkan wudhu asalkan dilakukan dengan perut jemari atau telapak tangan.
Namun, jika menyentuhnya dengan punggung jemari, wudhu tetap batal meskipun yang disentuh adalah anak kecil atau anak sendiri.
"Jadi hadistnya bukan itu saja. Riwayat yang lain menjelaskan itu batal. Kemudian para ulama ketika menemukan hadist yang berbeda itu ada tarjih, mana yang harus didahulukan," tegas Buya Yahya.
Beliau menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah mendahulukan hadist yang mengatakan tidak batal, sedangkan jumhur ulama sebaliknya dan ini disebut sebagai khilaf para ulama.
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Bahjat ini menegaskan pentingnya memahami perbedaan pendapat di kalangan ulama dan menekankan bahwa dalam praktik beragama, memahami konteks dan tarjih (pemilihan mana yang lebih kuat) adalah kunci dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut.
Dengan demikian, umat Islam dapat menjalankan ibadah dengan lebih tenang dan memahami bahwa perbedaan pendapat dalam fikih adalah hal yang wajar dan telah ada sejak zaman para sahabat. (udn)
Baca berita terkini dan lebih lengkap, klik google news tvOnenews.com
Ikuti juga sosial media kami;
twitter @tvOnenewsdotcom
facebook Redaksi TvOnenews
Load more