Jika seseorang hanya mampu mengelola tanah seluas dua hektar, maka memberikan hak kelola lebih dari dua hektar termasuk pengelolaan yang tidak memenuhi prinsip maslahat.
وَلَا يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يُقْطِعَ مِنَ الْمَوَاتِ إِلَّا مَا قَدَرَ الْمُقْطَعُ عَلَى إِحْيَائِهِ؛ لِأَنَّ فِي إِقْطَاعِهِ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا الْقَدْرِ تَضْيِيقاً عَلَى النَّاسِ فِي حَقٍّ مُشْتَرَكٌ بَيْنَهُمْ ، مِمَّا لَا فَائِدَةَ فِيهِ،فَيَدْخُل بِهِ الضَّرَرُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ
“Wajib bagi imam untuk mendistribusikan tanah mawat sesuai dengan kemampuan pihak penerima dalam mengelolanya. Sebab, pemberian lahan yang melebihi batas kemampuannya dapat berakibat mempersempit pihak lain untuk memperoleh apa yang menjadi hak bersama di antara mereka termasuk hal yang tak berguna sehingga menyebabkan madlarat bagi kaum muslimin” (Wahbah az-zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [Bairut: Dar al-Fikr cet ke-12], Juz VI, h. 430)
Adapun salah satu prinsip keadilan adalah memprioritaskan golongan lemah.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلَائِلُ: مِنْهَا أَنَّ حَقًّا عَلَى الْوَالِي إقْطَاعُ مَنْ سَأَلَهُ الْقَطِيعَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ؛ لِأَنَّ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «إنَّ اللَّهَ لَا يُقَدِّسُ أُمَّةً لَا يُؤْخَذُ لِلضَّعِيفِ فِيهِمْ حَقُّهُ» دَلَالَةٌ أَنَّ لِمَنْ سَأَلَهُ الْإِقْطَاعَ أَنْ يُؤْخَذَ لِلضَّعِيفِ فِيهِمْ حَقُّهُ وَغَيْرِهِ
(Imam asy-Syafi’i berkata): Dalam hadits ini terdapat beberapa dalil, antara lain bahwa wali (pemerintah) berhak memberikan lahan tertentu (iqtha`) untuk warga muslim yang memintanya, karena sabda beliau, “Sesungguhnya Allah tidak memuliakan suatu komunitas di mana yang lemah tidak mendapatkan haknya” menunjukkan bahwa orang yang meminta lahan garapan kepadanya itu harus diambilkan hak untuk orang yang lemah di antara mereka.” (Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, al-Umm, [Bairut: Dar al-Ma'rifah, 1393 H], Juz IV h.50)
Jika masih terdapat golongan lemah yang belum mendapatkan tanah, sementara golongan yang kuat sudah mendapatkan lebih, maka hal tersebut termasuk pengelolaan yang tidak adil.
Namun demikian bukan berarti imam atau pemerintah tidak memiliki hak menentukan kebijakan pengelolaan. Imam berhak menentukan apakah suatu tanah akan diberikan kepada rakyat atau diperuntukkan kepentingan lain.
Pengelolaan tanah negara pada masa kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin al-Khattab dan Utsman bin Affan menunjukkan bahwa imam memiliki hak dalam menentukan kebijakan pengelolaan.
وَأَمَّا الاَئِمَةُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رضِيَ اللهُ عَنْهُمَا لَمْ يُقْطِعَا إِلَّا مَوَاتًا لَمْ يَجْرِ عَلَيْهِ مِلْكٌ، وَاصْطَفَى عُمَرُ رَضِيَ الله عَنْهُ مِنْ أَرْضِ السَّوَادِ أَمْوَالَ كِسْرَى وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَمَا هَرَبَ عَنْهُ أَرْبَابُهُ أَوْ هَلَكُوْا ، فَكَانَ يَبْلُغُ تِسْعَةَ آلَافِ أَلْفٍ فَكَانَ يَصْرِفُهَا فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ وَلْم يُقْطِعْ شَيْئًا، ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَقْطَعَهَا لِأنَّهُ رَأَى إِقْطَاعَهَا أَوْفَى لِغُلَّتِهَا مِنْ تَعْطِيْلِهَا، وَشَرَطَ عَلَى مَنْ أَقْطَعَهَا أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ الْغِنَى
“Mengenai kebijakan para imam-imam setelah Rasulullah Saw, Abu Bakar ra dan Umar ra membuat kebijakan tidak memberikan lahan kecuali tanah mawat yang tidak pernah dimiliki siapapun. Umar ra memilih tanah sawad (ardl as-sawad) milik Kisra dan keluarganya dan juga lahan yang ditinggalkan pemiliknya atau dirusak. Jumlahnya mencapai ukuran 9 juta. Beliau mengelolanya untuk kemaslahatan kaum muslimin dan tidak memberikan sedikitpun kepada individu dari kaum muslimin. Kemudian datang Utsman ra membuat kebijakan baru dengan meng-iqtha` tanah-tanah tersebut karena ia melihat bahwa kebijakan meng-iqtha`-kannya (baik iqtha` tamlik atau ghairu tamlik, pent) akan lebih produktif daripada terbengkalai, dan ia menetapkan syarat adanya pungutan retribusi dari pihak yang diberi lahan.”. (Muhammad Najib al-Muthi’i, Takmilah dari al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah al-Irsyad], Juz, Juz, XVI, h. 145.)
Load more