Bukan Sekadar Sensitif, Psikiater Beberkan Penyebab Emosi Mudah Meledak Hanya karena Hal Sepele
- Freepik/wayhomestudio
tvOnenews.com - Kasus viral kehilangan tumbler Tuku di KRL baru-baru ini menjadi bahan refleksi tentang bagaimana emosi seseorang bisa meledak karena hal yang tampak sepele.
Banyak orang menilai bahwa masalah tersebut sebenarnya bisa diselesaikan dengan tenang tanpa perlu melibatkan drama di media sosial.
Namun, bagi sebagian orang, hal kecil dapat memicu ledakan emosi besar yang sulit dikendalikan.
Fenomena ini dijelaskan secara rinci oleh dr. Jiemi Ardian, seorang psikiater melalui kanal YouTube pribadinya.
Ia mengungkapkan bahwa reaksi emosional berlebihan terhadap hal kecil bukan sekadar sifat sensitif, melainkan bisa berkaitan dengan kondisi psikologis dan luka batin yang belum terselesaikan.
“Teman-teman pernah enggak ketemu orang yang gampang banget ke-trigger sama hal-hal kecil? Misalnya cuma ditinggal tidur sama pacarnya bisa gelisah bukan main, atau baru sedikit salah paham sama teman langsung ngerasa enggak dianggap. Nah, kenapa hal sepele bisa bikin orang meledak seperti itu?” ujar dr. Jiemi dalam penjelasannya.
Menurutnya, situasi semacam itu sering kali berakar pada mekanisme psikologis bernama “trigger”, yakni kondisi di mana perasaan terdalam seseorang terpicu oleh hal yang secara logika sebenarnya tidak besar.
Ia menggambarkannya seperti pelatuk pistol: cukup satu sentuhan kecil, maka akan terjadi ledakan besar.
“Trigger itu seperti pelatuk. Begitu ditekan, bisa memicu ledakan. Bedanya, yang meledak bukan peluru, tapi emosi kita,” tambahnya.
Reaksi emosional besar terhadap hal kecil ini, kata dr. Jiemi, berhubungan erat dengan teori “ego state”, bagian-bagian kepribadian di dalam diri manusia yang memiliki peran dan usia emosional berbeda.
Dalam diri seseorang bisa terdapat “bagian dewasa” yang logis, dan “bagian anak kecil” yang masih menyimpan rasa takut, marah, atau sedih akibat pengalaman masa lalu.
“Kadang ada diri kita yang dewasa dan tahu bahwa masalah itu kecil. Tapi ada juga bagian lain dalam diri yang masih kecil, masih takut ditinggalkan, masih merasa enggak berharga. Ketika bagian yang terluka ini tersentuh, emosinya bisa meledak,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, seseorang yang di masa kecil sering ditinggalkan atau diabaikan orang tuanya bisa mengalami reaksi panik berlebihan saat merasa diabaikan pasangan meski hanya karena hal kecil, seperti tidak dibalas pesan atau ditinggal tidur.
“Kalau anak kecil dikunci di kamar, dia akan panik karena merasa tidak bisa keluar. Reaksi itu sama dengan orang dewasa yang emosinya terpicu oleh rasa ditinggalkan. Luka masa lalu itulah yang muncul kembali,” jelasnya.
Lebih jauh, dr. Jiemi juga menyinggung bahwa emosi berlebihan sering kali dianggap sebagai bentuk kelemahan atau kurang sabar, padahal sesungguhnya itu tanda adanya luka batin (inner child) yang belum sembuh.
“Logika tidak cukup untuk menyembuhkan bagian diri yang terluka. Kadang setelah marah, orang sadar, ‘kenapa sih aku segitunya? Ini kan cuma hal kecil,’ tapi tetap enggak bisa mengendalikan diri,” kata psikiater yang aktif membahas kesehatan mental ini.
Ia menegaskan, ketika seseorang bereaksi berlebihan terhadap hal sepele, itu bukan berarti mereka tidak rasional, melainkan bagian dari diri yang masih terluka sedang berteriak minta perhatian.
Sebagai solusi, dr. Jiemi menyarankan agar orang yang sering mengalami emosi meledak tanpa sebab jelas sebaiknya mendatangi profesional kesehatan jiwa yang memahami pendekatan trauma healing atau terapi ego state.
Dengan terapi yang tepat, bagian diri yang terluka dapat dikenali dan disembuhkan.
“Tujuannya bukan hanya supaya kita bisa menahan marah, tapi supaya bagian diri yang terluka itu bisa disembuhkan. Karena kalau lukanya masih ada, setiap hal kecil bisa terasa besar,” ucapnya.
Belajar dari kasus tumbler Tuku yang hilang di KRL, publik diajak memahami bahwa tidak semua kemarahan berakar dari kejadian yang tampak di permukaan.
Terkadang, ada luka batin yang membuat seseorang sulit mengontrol emosi dan cenderung bereaksi berlebihan terhadap hal kecil.
“Hal yang tampaknya kecil bisa berarti besar bagi bagian diri yang pernah terluka. Itulah mengapa sebagian orang terlihat ‘berlebihan’, padahal yang sebenarnya muncul adalah rasa sakit lama yang belum sembuh,” pungkas dr. Jiemi. (adk)
Load more