Indonesia Jadi Korban Perang Dagang Trump, Rupiah Kian Terpuruk di Level Rp16.772 per Dolar AS
- pixabay
Jakarta, tvOnenews.com - Nilai tukar rupiah kembali tertekan 59 poin atau 0,36 persen menjadi Rp16.772 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.713 per dolar AS.
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong, menilai nilai tukar (kurs) rupiah mengalami tekanan berat akibat kebijakan tarif dari Amerika Serikat (AS).
“Indonesia (mendapatkan tarif) 32 persen. Rupiah bakalan tertekan berat sebagai salah satu negara yang dikenakan tariff reciprocal besar,” kata Lukman, Kamis (3/4/2025).
Pada Rabu (2/4), Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal terhadap mitra dagang AS sebagai upaya untuk memangkas defisit perdagangan global.
Tarif tambahan sebesar 25 persen untuk semua mobil yang dibuat di luar AS sebagaimana diumumkan Trump pekan lalu, akan berlaku sesuai rencana pada hari ini.
“Rupiah diperkirakan akan kembali melemah hari ini, besar kemungkinan akan volatile dan melibatkan intervensi Bank Indonesia. Indeks dolar AS terpantau volatile menyusul kebijakan tarif imbal balik Trump yang sedang diumumkan terlihat lebih agresif dari yang diperkirakan. Sentimen pasar saat ini sangat negatif dan risk off, BI akan intervensi,” ujar Lukman.
Berdasarkan sentimen tersebut, kurs rupiah pada hari ini diperkirakan berkisar Rp16.600 sampai dengan Rp16.900 per dolar AS.
Dalam pengumuman terbaru pada Rabu waktu AS, Indonesia kini resmi dikenai tarif impor sebesar 32% untuk produk ekspornya ke pasar AS.
Langkah ini menambah ketegangan dalam perang dagang yang semakin memanas antara AS dan berbagai negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.
Kebijakan tarif 32% ini adalah bagian dari strategi Trump untuk menekan defisit perdagangan AS dengan negara-negara lainnya, namun dampaknya langsung dirasakan oleh Indonesia.
Dengan kenaikan tarif impor yang cukup signifikan, produk-produk Indonesia yang sebelumnya dapat bersaing di pasar AS kini menghadapi hambatan besar yang bisa mengguncang sektor ekspor negara.
Bagi banyak pelaku ekonomi Indonesia, kebijakan ini memicu kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi. (ant/nba)
Load more