Jakarta, tvOnenews.com - Koreksi harga Bitcoin di kisaran 80.000 dolar AS dipandang sebagai peluang strategis bagi investor institusional yang memandang aset kripto ini sebagai instrumen lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi.
Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, menyatakan bahwa meskipun koreksi ini menimbulkan tekanan di pasar kripto, kondisi tersebut bisa dimanfaatkan untuk strategi akumulasi di tengah situasi ekonomi global yang masih bergejolak.
Tiga indeks utama Wall Street, yaitu S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones Industrial Average, masing-masing mencatat penurunan lebih dari 2 persen dalam sehari. Sektor teknologi menjadi salah satu yang paling terdampak, dengan indeks teknologi S&P 500 turun 4,3 persen. Saham Apple dan Nvidia masing-masing terkoreksi sekitar 5 persen, sementara Tesla anjlok lebih dari 15 persen.
“Penurunan ini mencerminkan adanya ketidakpastian ekonomi yang tinggi dan kekhawatiran terhadap potensi resesi di AS. Koreksi Bitcoin dalam konteks ini menjadi wajar, karena pasar kripto masih memiliki korelasi yang kuat dengan pergerakan saham teknologi,” ujar Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (12/3).
Fahmi menilai bahwa meskipun Bitcoin mengalami tekanan jangka pendek, dalam jangka panjang aset ini berpotensi menjadi instrumen lindung nilai (hedge) yang efektif terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi. Kondisi stagflasi—yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, inflasi tinggi, dan ketidakpastian kebijakan fiskal—menjadikan Bitcoin sebagai alternatif menarik bagi investor institusional.
Laporan inflasi Consumer Price Index (CPI) AS yang akan dirilis pada 12 Maret 2025 menjadi katalis penting yang bisa memengaruhi sentimen pasar. Proyeksi sementara menunjukkan kenaikan sebesar 0,23 persen, lebih rendah dari kenaikan Januari sebesar 0,5 persen. Namun, inflasi tahunan AS diperkirakan masih berada di angka 3 persen, cukup jauh dari target The Fed sebesar 2 persen.
Load more