Narasi Oplosan dan Korupsi Kuadriliun: Membaca Ulang Followership Publik, Citra Pertamina, dan Pembuktian Kerugian Negara dalam Kasus Tata Kelola Migas
- Istimewa
Pola serupa diduga kuat akan terulang di kasus tata kelola migas yang saat ini memasuki masa persidangan. KKN riil dari penyimpangan pengadaan, mark-up biaya impor, dan fee perantara ilegal diduga tak sebesar yang beredar di ruang dengar masyarakat (Rp 1 kuadriliun). Namun, angka fantastis yang mendominasi total dakwaan adalah berupa KPN yang diperkirakan dapat mencapai Rp172 triliun (dari fiscal loss beban subsidi/kompensasi).
Pada sidang eksepsi yang digelar pada Kamis, 16 Oktober 2025, tim penasihat hukum terdakwa Riva Siahaan Cs mempertanyakan angka KPN ini. Argumennya bahwa kerugian korupsi (bila terbukti) seharusnya hanya berupa selisih mark-up harga, bukan total beban fiskal tersebut yang notabene sebagian besar telah mengalir kepada masyarakat sebagai manfaat subsidi/kompensasi.
OPLOSAN DAN KORUPSI KUADRILIUN: PSIKOLOGI MASSA TANPA TABAYUN
Kita beranjak sejenak ke soalan persepsi publik yang sejak awal "mewarnai" kasus korupsi tata kelola migas ini. Tak tanggung-tanggung warnanya hitam pekat. Akibat narasi "BBM oplosan" dan "Korupsi kuadriliun".
Mengapa "oplosan dan kuadriliun" begitu mudah memicu emosi dan cepat diterima publik?.
Secara psikologis, masyarakat dalam kondisi ketidakpastian tinggi cenderung mengalami yang disebut Confirmation bias dan Emotional Resonance Effect.
Confirmation bias merupakan kecenderungan psikologis yang menjelaskan mengapa sebuah informasi mudah mengakar di masyarakat.
Bias ini membuat seseorang secara tak sadar cenderung mencari, menafsirkan, memilih, dan mengingat informasi yang hanya mendukung atau mengonfirmasi keyakinan, hipotesis, atau nilai-nilai yang sudah mereka pegang (Wason, 1960).
Dalam buku "Thinking, Fast and Slow", Kahneman (2011) menyatakan bahwa bias konfirmasi merupakan bagian integral dari sistem berpikir cepat manusia. Pikiran manusia lazimnya mencari konfirmasi untuk menghemat energi kognitif, sehingga cenderung menghindari informasi yang kompleks atau bertentangan.
Di kasus dugaan korupsi Pertamina, bila seseorang telah memiliki keyakinan dasar dan pandangan awal bahwa Pertamina rentan terhadap korupsi, maka narasi "oplosan" dan "kerugian kuadriliun" akan lebih mudah diterima sebagai kebenaran.
Pikiran akan secara otomatis memprioritaskan info/hal-hal yang menguatkan prasangka tersebut dan cenderung mengabaikan klarifikasi atau bukti apapun yang bersifat rasional maupun berbasis legal hukum.
Load more