Sementara di sisi lain, regulasi yang sudah puluhan tahun ditunggu publik, seperti RUU Perampasan Aset atau RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga diabaikan begitu saja.
Pada akhirnya kita tahu kartel politik merusak segalanya. Pemimpin partai politik membudidayakan kartel dalam pengelolaan organisasi politiknya. Sistem patron-klien diberlakukan. Feodalisme ditumbuhkan. Pengurus diangkat berdasarkan loyalitas pada Ketua Umum Partai. Akibatnya, tak terjadi sirkulasi elit. Pemimpin partai politik orangnya itu itu saja, tak berubah hingga berpuluh puluh tahun.
Mereka akan berkelahi secara periodik, lima tahun sekali. Setelah pemilu bersama sama memburu kekuasaan dan bergabung dengan partai pemenang pemilu. Lalu partai tak ada kaitan lagi dengan pengawasan politik, agen perubahan sosial-politik, tempat penyemaian calon pemimpin, tapi hanya alat pemburu kekuasaan.
Sikap mengejar kekuasaan membuat kemandirian partai politik sebagai wilayah otonom untuk mengkader calon pemimpin hilang. Yang muncul lalu pemimpin pemimpin partai drop dropan penguasa. Baru masuk hitungan hari, seseorang yang dekat dengan “penguasa” bisa langsung jadi Ketua Umum Partai Politik. Bagi kader lama yang membangun karir politik situasi ini bisa tanpa harapan. Meritokrasi hancur.
Padahal, saya membayangkan parlemen seperti sebuah pabrik tahu. Kita tahu ada proses yang berbau bacin, mungkin menjijikan saat pengolahannya, tapi yang dihasilkan adalah sebuah makanan bergizi yang dibutuhkan semua orang. Proses melahirkan regulasi bisa sangat keras, berbenturan, saling serang, saling berbantah-bantahan, tapi hukum yang dihasilkan akan bersinar seperti sebuah intan yang bercahaya indah karena digosok dari banyak sisi.
Karena tak mendapatkan itu semua, dua pekan lalu rakyat yang muak lalu turun ke jalan memenuhi Jalan Gatot Subroto dan Jalan Asia Afrika, mengepung gedung parlemen dan meminta para wakilnya berhenti “bekerja,” memaksa untuk didengarkan dengan menjebol pagar dan pintu gerbang. Setelah cukup lama hanya melihat, kini sang rakyat ingin tampil sendiri dan meminta didengar. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more