Yang salah adalah proses ini lalu diperjualbelikan, ditransaksikan. Ada istilah jual putus, seseorang membeli lalu punya hak untuk berbuat apapun pada apa yang diperdagangkan.
Sebaliknya, si penjualnya tak memiliki lagi kuasa untuk membatalkan atau mengkoreksi perilaku pembeli. Apa yang terjadi dengan kampanye caleg di pelosok-pelosok desa dan di pinggiran-pinggiran kota adalah praktek jual putus suara semacam itu. Konon, caleg dan timses capres menggelontorkan uang hingga miliaran rupiah untuk memperoleh suara.
Pemilu jadi pasar raksasa, tempat pesertanya diikat hubungan pragmatis penjaja dan pembeli.
Yang terjadi berikutnya setelah hari pencoblosan juga tak kalah bacinnya. Koalisi antar parpol untuk membentuk pemerintahan disusun berdasarkan tawar menawar pada kubu yang tadinya lawan politik. Semua negosiasi baru terjadi bukan karena persamaan program ataupun ideologi, tapi hampir sepenuhnya dengan pertimbangan saya atau siapa dapat jabatan apa.
Dengan ini fungsi kontrol parlemen ingin dirubuhkan, pengawasan coba dihentikan agar pihak pemenang bisa leluasa membangun dan ‘menikmati’ kue kemenangan. Dengan kata lain, koalisi parpol adalah antrean panjang untuk bagi bagi kekayaan negara.
Di sini apa yang disebut politik jadi ritus belaka. Pada akhirnya memilih jadi alienasi, proses yang mengasingkan warga negara. Ketika kita melangkah keluar TPS, kita tak peduli lagi dengan pilihan pilihan kita, warga pun tak peduli lagi dengan siapa yang menang dan kalah, sebab tak akan mengubah kondisinya.
Load more