Soal Pemisahan Pemilu, Ahli Hukum: MK Membangkang Konstitusi
- Julio Tri Saputra/tvOnenews.com
"Kemudian, apakah ada jaminan dengan dikabulkannya permohonan (in casu Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024), maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi?" timpalnya.
Terlepas dari final dan mengikatnya putusan MK, kata dia, jika seandainya nanti
yang terjadi adalah justru lebih menimbulkan dampak kemudaratan yang lebih besar maka bagaimana negara penyelesaian konstitusionalnya.
Menurut dia, dalil pemohon yang dibenarkan oleh MK, yakni ketiadaan perbaikan atas jadwal keserentakkan pemilu sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyebabkan masih terjadinya kerugian hak konstitusional pemohon.
"Apakah itu sebanding dengan dampak buruk yang ditimbulkan akibat pemisahan pemilu nasional dan lokal? Upaya pemohon
dalam uji materiil guna menghasilkan konsepsi agenda penyelenggaran pemilihan
umum yang mengarah pada penguatan demokrasi, meningkatkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, penguatan pelembagaan partai politik dan efektivitas sistem kepartaian, serta sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, apakah dengan semudah itu diamini oleh Mahkamah? Sungguh membingungkan dan memilukan!" kata dia.
Abdul Chair mengatakan sejatinya penyatuan Pemilu lokal dan nasional dalam satu waktu merupakan bagian dari 'aturan hukum yang mengikuti', dimana 'hukum yang diikuti' adalah Pasal 22E (1) UUD 1945. Dia menyebut dalam ini yang paling menentukan adalah kemanfaatan umum yang menunjuk pada konstitusi, yakni terwujudnya pemilu setiap 5 tahun sekali.
"Demikian itu sudah jelas, dan oleh karenanya tidak lagi memerlukan penjelasan apalagi merubah maknanya menjadi lebih dari lima tahun," katanya
Sejalan dengan hal ini, Abdul Chair lantas mengutip pernyataan Ronald Dworkin bahwa maksim hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan (rules) saja, tetapi juga prinsip-prinsip (principles). Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum.
Prinsip-prinsip, menurutnya memiliki dimensi kadar. Dengan demikian, jika prinsip-prinsip bertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah dengan memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah.
Terkait dengan perkara a quo, prinsip-prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat itu bukanlah tawaran pemohon tentang format keserentakkan Pemilu yang dipisah dan dikabulkan MK. Pemilu serentak setiap 5 tahun sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E (1) UUD 1945 adalah prinsip, bukan kadarnya lebih kuat dari dalil pemohon dan putusan MK, namun memang dari awalnya tidak ada yang dapat menandinginya.
Load more