Pada wartawan yang sesekali merubungnya usai bertanding, Zaqut pernah berujar, ia hanya ingin bermain sepak bola saja. Dan ia membuktikannya: setelah tak aktif merumput, Zaqout hanya melatih klub kecil sambil nyambi bekerja sebagai penyiar olah raga.
Pendeknya, Zaqout adalah sebuah teladan hidup yang lempang.
Tapi, di negeri tanpa bangsa, Palestina, tindakan “netral” sekalipun tetap jadi korban. Pada sebuah Rabu celaka, Zaqout ditemukan tewas di tempat tidur dengan tubuh koyak. Pada sebuah serangan, bom Israel menghantam apartemennya.
Esoknya koran koran menulis tewasnya Zaqout sebagai kehilangan besar di negeri yang sangat miskin cerita pahlawan di lapangan hijau. Zaqout yang pernah berduel di udara dengan Michel Platini (sehingga mereka sebagai bangsa merasa setara dengan bangsa lain di dunia) ikut jadi korban kebiadaban itu.
Sepak bola tak pernah jadi permainan yang “normal” di Palestina, bahkan untuk anak anak. Di kawasan Maale Adumim, Yerusalem, yang merupakan kawasan rampasan Israel, anak anak yang bosan melihat lalu lalang tank dicegat tentara saat hendak memainkan si kulit bundar. Diskriminasi hanya dilawan oleh anak anak dengan meninggalkan tempat sambil bernyanyi-nyanyi, “Infantino, biarkan kami bermain.”
Iya, selalu ada ada otoritas yang menyeleksi siapa yang bisa bertanding atau tidak di laga sepak bola di Palestina. Dalam kejuaraan Palestina Cup, misalnya ada 15 pemain klub Shabaab Rafah dan klub Ahly al Khalil asal Hebron yang tak dibolehkan bertanding. Yang dilarang berlaga termasuk penjaga gawang. Bagaimana laga puncak itu akan dilangsungkan tanpa kiper dan penyerang?
(Kolase Foto. Ahed Zaqout (kiri), ledakan bom yang menewaskan Ahed Zaqout (kanan). Sumber: humanizepalestina.com)
Load more