Hal ini bisa membuat barang-barang dari Indonesia kesulitan bersaing di pasar internasional.
Rachmat menyoroti bahwa transisi energi sebenarnya membuka peluang besar bagi ekonomi.
Salah satunya adalah dalam penerapan konsep ESG (Environmental, Social, and Governance), yang mendorong perusahaan untuk menjalankan program-program berkelanjutan.
"ESG kadang-kadang kita anggap ini sebagai suatu biaya, tapi sebenarnya ke depan bisa menjadi satu investasi dan mungkin (jika perusahaan) tidak melakukan ESG, bahkan akan menjadi lebih mahal karena dampak-dampak ekonominya akan menjadi lebih mahal lagi jika kita tidak patuh. Jadi, lebih bagus kita patuhi sekarang, mungkin lebih efisien, mungkin lebih berguna buat kita,” kata Rachmat.
Dia juga menekankan bahwa Indonesia harus memperkuat kemandirian dalam ketahanan energi. Menurutnya, sangat berisiko jika negara ini terlalu bergantung pada energi yang diimpor dari luar.
Walaupun saat ini Indonesia masih menjadi pengekspor energi fosil seperti batu bara, tetapi transisi energi harus dipersiapkan agar sesuai dengan perkembangan global.
“Saat ini juga kita import 60 % BBM (bahan bakar minyak) kita untuk kita pakai buat transportasi. Jadi ini juga menjadi risiko jika kita tidak punya kekuatan dalam negerinya. Belum lagi nanti ke depan walaupun kita menggunakan renewable energy (energi baru terbarukan), kita harus pastikan kita punya supply chain (rantai pasok) di Indonesia. Kalau tidak, nanti jangan sampai kita mau pakai solar panel tapi sedikit-sedikit harus impor,” jelasnya.
Load more