Jakarta, tvOnenews.com - Melemahnya kondisi industri manufaktur dan pengolahan di Indonesia dirasakan langsung oleh pelaku usaha dalam negeri.
Lesunya sektor manufaktur saat ini diperparah dengan adanya regulasi pemerintah yang justru sering dianggap menghambat pertumbuhan dunia usaha.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia, Suryani Motik, yang mengungkapkan kekecewaannya dalam acara Indonesia Business Forum di tvOne yang bertajuk 'Ekonomi Melemah, Daya Beli Semakin Payah', Rabu (7/8/2024) malam.
Suryani Motik mengungkapkan, regulasi yang dibuat pemerintah seringkali justru membuat pengusaha frustasi. "Kalau pengusaha sering bilang, 'Udah deh, pemerintah nggak usah gangguin. Nggak usah bikin aturan, biar kita jalan sendiri.' Kenapa sering ada ungkapan seperti itu? Karena kekecewaan, dibikin regulasi bukannya malah baik, malah ngacau," ujarnya dikutip Kamis (8/8/2024).
Regulasi dari Menteri Perdagangan, yakni Permendag No. 8 Tahun 2024 yang belum lama diluncurkan pemerintah, dianggap sebagai contoh nyata dari kebijakan yang tidak berpihak kepada dunia usaha dalam negeri.
"Pabrik nggak diajak bicara. Kalau pabrikan diajak bicara, mereka bisa bilang, 'Saya punya stok sekian dan sekian,' sehingga bisa diketahui apakah sekarang waktunya tepat dikeluarkan regulasi atau tidak."
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 telah membuka keran impor secara bebas. Hal ini dinilai memperparah keadaan dan justru mendorong penutupan pabrik-pabrik tekstil di Indonesia.
Suryani mengatakan, pemerintah harus sadar bahwa sektor industri manufaktur di Indonesia terus mengalami penurunan sejak 10 tahun terakhir.
"Kenyataannya, saat regulasi itu keluar langsung tutup (pabrik-pabrik), PHK 10.000 kenaikannya, bukan jumlahnya, di Jakarta. Pabrik-pabrik juga layoff dan pemerintah nggak sadar bahwa deindustrialisasi sudah terjadi jauh ke belakang, 10 tahun terakhir dan tidak pernah naik lagi, turun terus (industrinya)," kata Suryani.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan, industri manufaktur dan pengolahan Indonesia mengalami penurunan signifikan, dengan pertumbuhan hanya mencapai 3,95% di kuartal kedua 2024.
Ini jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di angka 5,05%. Penurunan industri manufaktur atau pengolahan juga berdampak pada daya beli masyarakat, terutama kelas menengah yang menjadi tulang punggung ekonomi.
"Sementara kalau kita lihat, kelas menengah, tadi di pengantar disebutkan, adanya di orang-orang yang terdidik. Jadi yang penghasilannya 10 juta itu mereka yang punya pendidikan," jelas Suryani.
"Kalau industrinya tidak tumbuh, mana mungkin kelas menengah tumbuh. Kelas menengah ini jadi backbone-nya ekonomi kita. Kelas menengah ini yang punya daya beli," imbuhnya.
Suryani juga menyoroti masalah tabungan masyarakat. "Tabungan yang 100 juta turun terus. Sementara yang 5 miliar ke atas naik. Yang 5 miliar belanjanya enggak di Jakarta, belanjanya di Singapura, belanjanya di Hongkong. Yang mesti dinaikkan itu yang penghasilannya lebih rendah, caranya apa? Industrinya dinaikkan lagi."
Dengan situasi ini, Suryani menekankan agar pemerintah lebih berpihak pada pengusaha dan masyarakat kelas menengah bawah dalam setiap kebijakan yang dibuat, agar ekonomi Indonesia bisa kembali tumbuh dan stabil. (rpi)
Load more