Lebih masif, lebih bising, dan menyeramkan dibandingkan dengan aksi unjuk rasa fisik sebesar apapun. Gemuruh suara rakyat menembus ruang dan waktu. Menyelinap masuk rumah, kamar tidur, hingga di rumah-rumah penduduk di pelosok desa terpencil di kaki gunung.
Permintaan agar Kapolri mengundurkan diri mereka juga suarakan, masuk dalam list yang terbanyak dipercakapkan di media sosial. Merujuk "fatwa" Kadiv Propam Fredy Sambo di masa jaya yang sekarang dimainkan di media sosial. Fatwa tentang pelanggaran yang dilakukan seorang perwira Polri harus menyeret pejabat dua tingkat di atasnya ikut bertanggung jawab.
Memang betul, tidak semua suara yang bergema di ruang publik mengandung kebenaran. Banyak yang ngawur, berdasar karangan bebas. Juga mengandung ucaran kebencian yang kemungkinan bersumber dari rasa dendam pihak yang pernah merasakan tindak kekerasan dari aparat polisi. Tapi banyak lucu dan menghibur. Ada pula yang pandai merangkai cerita tentang motif pembunuhan secara ekstrem, frontal dengan motif "pelecehan seksual" versi resmi.
Soal motif ini sejak awal, memang diulas netizen berseri-seri, sangat mendalam, dan banyak versi. Sejak awal masyarakat tak mempercayai versi resmi yang sudah dibatalkan Polri. Definisi pelecehan seksual memang janggal untuk dipakai sebagai motif untuk peristiwa itu. Tidak ada teori kelas masyarakat bawah (ajudan) melecehkan atasan (istri jenderal) dalam relasi kuasa. Definisi pelecehan untuk golongan atasan kepada strata di bawahnya. Namun, bisa dikatakan itulah konsekwensi dari sikap pihak Polri yang pada awalnya berusaha menutup-nutupi kejadian sebenarnya.
Pasca-penahanan Fredy Sambo dengan sangkaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, motif pembunuhan karena "pelecehah seksual" tampaknya tetap konsisten dipertahankan. Padahal, itu masuk dalam skenario yang telah digugurkan oleh penyidik.
Satu paket dengan laporan "tembak menembak" yang sudah tidak berlaku. Itu yang menjelaskan mengapa soal motif hari-hari ini kembali memantik kegaduhan.
Load more