Pentingnya Transformasi Gerakan Buruh
- Julio Trisaputra-tvOne
Jakarta, tvOnenews.com - Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah pertemuan bersama para aktivis, salah satu narasumber mengungkapkan pentingnya transformasi.
Konteksnya memang dalam rangka memotivasi para mahasiswa yang menekankan agar proses transformasi ini bisa berjalan dengan baik, maka pendidikan menjadi salah satu kata kunci yang harus dimiliki.
Dalam konteks gerakan buruh, momentum acara International Labour Conference (ILC) ke-113 yang rutin dilaksanakan oleh International Labour Organization (ILO) satu tahun sekali pada bulan Juni bisa dijadikan ajang untuk melakukan terobosan-terobosan termasuk dalam hal ini terobosan dalam memperjuangkan hak-hak buruh di dunia.
Beberapa kesimpulan yang muncul dari perdebatan panjang saat ILC tersebut diantaranya: Seluruh dunia akhirnya sepakat perlu ada konvensi dan rekomendasi ILO.
Karena defisit kerja layak (perbudakan modern) banyak terjadi akibat status kemitraan. Kemudian menyangkut status pekerja platform, jenis pekerjanya yang akan dibagi dua; pekerja tetap dalam hubungan kerja (jika pekerja platform sebagai pekerjaan utama); pekerja mandiri (bila kerja sampingan).
Selanjutnya terkait hak-hak dasar pekerja (berserikat, berunding, berpenghasilan, jaminan sosial, K3, pendampingan di PHI, termasuk tidak terbatas pada hak mendapatkan informasi sistem algoritma yang dipakai aplikator).
Terakhir, ada rekomendasi untuk ILC tahun 2026, ILO akan menetapkan konvensi dan rekomendasi dalam bentuk pasal per pasal.
Indonesia, sebagai salah satu negara yang terlibat, tentu tidak mesti menunggu selesai atau penetapan pasal-pasal tersebut, namun bisa segera memulai dengan melakukan dialog sosial minimal dialog tripartit untuk merumuskan hal-hal tersebut di atas.
Perlunya keterlibatan tripartit tersebut untuk melihat sejauh mana kesiapan khususnya dari pihak aplikator untuk menerima hal tersebut dan dampaknya terhadap kondisi para pengendara ojol saat ini, termasuk apakah perlu ada aturan khusus menyangkut ekosistem online ini yang memberikan kesejahteraan kepada semua pihak.
Transisi Industri
Seperti diketahui bersama, era digital ini telah memaksa sebagian besar industri, baik besar maupun kecil beralih dalam proses pengelolaan bisnisnya.
Lebih tepatnya, era industri dimana kebanyakan proses-proses bisnis dijalankan oleh manusia, akan dan sedang berproses beralih dijalankan oleh mesin.
Hal ini akan berdampak terhadap pengurangan penggunaan jasa manusia disaat jumlah manusia semakin hari semakin tinggi dan yang lebih perlu mendapatkan perhatian para aktivis buruh adalah dalam konteks hubungan industrial, seperti disampaikan oleh para pakar dimana lebih dari 60% termasuk didalamnya pekerjaan yang sifatnya rutin akan digantikan oleh mesin digital.
Jauh sebelum peristiwa Covid-19 yang telah mempercepat proses digitalisasi di dunia ini, Alec Ross dalam bukunya The Industries of the Future telah memprediksikan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan.
Bahkan, ia mengurainya sampai pada negara-negara yang secara spesifik mengambil peran-peran khusus terkait dengan digitalisasi ini. Hal tersebut meniscayakan adanya transisi industri dari pola lama ke pola baru.
Ulasan-ulasan terkait digitalisasi ini begitu banyak, baik ulasan yang melihat dari sisi positif maupun ulasan yang dampaknya negatif, yang meniscayakan lahirnya regulasi-regulasi baru untuk memberikan keseimbangan antara cepatnya perkembangan teknologi dengan kebutuhan dasar manusia sebagaimana Ibnu Khaldun dalam buku Mukaddimahnya, "bahwa manusia membutuhkan sesuatu untuk memberinya makan dan persediaan dalam semua kondisi dan tahapan hidupnya dari sejak lahir, dewasa, dan masa tuanya bahkan hingga kematiannya”.
Transformasi Gerakan Buruh
Terhadap perkembangan yang sedang terjadi tersebut, sebagai autokritik terhadap model gerakan buruh saat ini, para aktivis buruh harus segera bertransformasi.
Transformasi ini penting dilihat dari dua sisi; pertama dari kepentingan para buruh dan kedua dari kepentingan para pemberi kerja atau pengusaha.
Dari sisi kepentingan buruh, gerakan ini harus terus eksis dalam menyuarakan kepentingan para buruh, baik terhadap pemenuhan kebutuhan primernya maupun kebutuhan diluar itu.
Idealisme itu terus perlu dipupuk semata dalam rangka memberikan rasa aman dan nyaman pada para buruh yang dampaknya tentu terhadap stabilitas kemasyarakatan, baik dalam ruang lingkup lingkungan terkecil maupun ruang lingkup yang lebih besar seperti stabilitas nasional dan global.
Dari sisi kepentingan pemberi kerja atau para pengusaha, persaingan yang terus ketat dalam menjalankan bisnis akan memaksa dan ikut dalam dinamika global termasuk penggunaan platform-platform yang memungkinkan perusahaan melakukan efisiensi semaksimal mungkin.
Munculnya teknologi digital yang tidak bisa dibendung akan menyeret semua pelaku usaha beralih, berinovasi, dan berimprovisasi dengan menggunakan teknologi yang sedang berkembang tersebut.
Dampak dari dua sisi ini, gerakan buruh tidak bisa lagi sebatas berada di panggung-panggung jalanan, namun harus masuk ke panggung-panggung diplomasi.
Panggung diplomasi dipastikan akan memaksa para aktivis buruh untuk meningkatkan literasi ketenagakerjaan tidak sebatas hak-hak kaum buruh secara sepihak, namun juga memperhatikan keberlanjutan perusahaan yang dimana para buruh menggantungkan hidupnya di sana.
Apa yang dilakukan salah satu Konfederasi Buruh/Pekerja, misalnya di samping melakukan aksi jalanan juga melakukan diplomasi a la buruh terhadap elit-elit pengambil kebijakan terkait penanganan impor ilegal yang cukup mengganggu kinerja perusahaan tekstil dalam negeri dan mengakibatkan banyaknya perusahaan tekstil gulung tikar secara tidak langsung di samping sedang “membela” dirinya sendiri para buruh agar tetap bisa bekerja, namun juga sedang “membela” para pengusaha yang bergerak didalamnya.
Simbiosis mutualisme antara para buruh dan pengusaha menjadi mutlak sebagaimana Ibnu Khaldun ungkapkan diatas.
Sebab itu, sebagai outokritik, transformasi atas gerakan-gerakan buruh saat ini menjadi keniscayaan dengan minimal melakukan beberapa hal; pertama gerakan buruh tidak hanya terbatas pada gerakan-gerakan jalanan, namun yang perlu diperbanyak adalah diplomasi dari meja ke meja.
Kedua, sebagai aktivis buruh, perlu meningkatkan literasi bukan hanya pada persoalan hak-hak buruh, namun juga pada perkembangan-perkembangan yang terjadi baik di lingkungan nasional maupun global.
Ketiga, menyatukan dan memperkuat ikatan solidaritas dan soliditas di aktifis buruh dengan selalu menyamakan visi dan frekuensi isu sehingga menjadi kekuatan yang solid ketika disuarakan.
Keempat, terus terhubung dengan organisasi-organisasi internasional dengan meningkatkan frekuensi dialogis untuk melihat dan memprediksikan arah perkembangan dunia ketenagakerjaan kedepan.
Wallohua`lam.
Penulis: Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Yayat Syariful Hidayat
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun demikian, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Load more