Dan pagi itu, Senin (26/08) dengan senyum sumringah Anies mencium tangan ibunya. Ia pamit sambil mengenakan batik yang tak biasa: tenun merah. Tujuannya pergi ke kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. "99 persen kami akan mengusung Anies," ujar Masinton, anggota komisi 3 dari fraksi PDI Perjuangan sehari sebelumnya.
Anies bahkan bertemu dengan Rano Karno, orang yang akan mendampinginya mengelola Jakarta di kantor pusat partai Banteng itu. Sebuah foto pertemuan itu lalu beredar ke publik dan para pewarta di lapangan beberapa sudah membuat laporan potensi PDI Perjuangan akan mengusung Anies sesaat lagi, namun kita tahu hingga ujung acara nama Anies tak disebut oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Demikian, politik bisa berlarat larat, melingkar lingkar, penuh drama, namun tak bisa dikenali lagi dasar dasar dan pertimbangan putusan politiknya, tak bisa ditangkap titik negosiasi dan perundingannya. Dan seperti kita tahu ujungnya: Anies tak bisa mendaftar di pilkada daerah manapun. Hingga batas akhir pendaftaran, tak ada satupun partai politik yang mengusung Anies meski elektabilitasnya paling tinggi di Jakarta.
Seperti burung pipit yang mati lemas karena dicengkeram dengan keras, politik dan demokrasi diam diam meredup. Feodalisme semakin diberi tempat. Partai berubah jadi kumpulan pecinta, fans ketua umum. Hubungan antar kader tak dilandasi keterbukaan, keadilan dan demokratisasi tetapi berdasarkan patron-klien, orang tua-anak.
Dalam konstruksi politik semacam ini, titah ketua umum jadi hukum. Semua sudah selesai di tangan ketua umum, tak ada celah bagi putusan politik yang tak terduga. Politik lalu menjadi nihilisme, tak membawa nilai nilai baru.
Politik hanya jadi ritual belaka: tanda gambar yang dicoblos setiap lima tahun sekali dan nama nama politisi, tak ada ideologi yang bergelora, tak ada gairah atau tindakan besar atas nama ideologi tersebut.
Load more