tvOnenews.com - Dalam beberapa pekan terakhir, ramai diperbincangkan bahwa kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dikaitkan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024.
Pakar Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Mereka menekankan bahwa keruntuhan Sritex lebih disebabkan oleh kompleksitas tantangan industri tekstil yang sudah lama terjadi, yang bukan hanya terkait dengan penerapan Permendag 8/2024.
Permendag 8/2024 adalah revisi dari Permendag 36/2023, yang bertujuan mengendalikan impor produk tekstil agar dapat melindungi industri lokal dari produk asing yang membanjiri pasar domestik. Peraturan ini baru berlaku pada Mei 2024, dan para ahli menegaskan bahwa kondisi finansial Sritex sudah mengalami berbagai tantangan serius jauh sebelum peraturan ini diterapkan.
Achmad menjelaskan bahwa masalah pada industri tekstil lokal, termasuk Sritex, berakar pada tantangan lama yang belum teratasi, seperti tingginya biaya energi dan bahan baku.
"Kondisi ini jelas mempengaruhi daya saing produk tekstil lokal. Subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil lokal dapat membantu menciptakan iklim usaha yang stabil dan kompetitif," ujar Achmad.
Menurut Achmad, menyalahkan Permendag 8/2024 sebagai pemicu kebangkrutan Sritex adalah pandangan yang tidak adil. Tantangan yang dihadapi industri tekstil lebih banyak berasal dari biaya produksi yang tinggi, seperti harga listrik dan bahan baku.
"Pemerintah dapat membantu menurunkan biaya produksi melalui subsidi atau insentif bagi produsen tekstil, agar mereka bisa lebih kompetitif," jelas Achmad.(chm)
Load more