- pixabay.com
Aturan Cara Bayar Utang Puasa Bagi Orang yang Tidak Mampu atau Berhalangan Menjalankan Puasa Ramadhan
tvOnenews.com - Aturan cara membayar utang puasa bagi orang yang tidak mampu atau berhalangan menjalankan puasa Ramadhan dapat Anda simak pada artikel berikut ini.
Puasa Ramadhan wajib hukumnya bagi umat muslim yang telah dewasa dan sehat.
Namun, ada kondisi tertentu yang dapat menyebabkan seseorang tidak bisa berpuasa di bulan Ramadhan.
Puasa Ramadhan yang ditinggalkan tetap harus diganti saat hari lain selain Ramadhan.
Mengganti puasa Ramadhan bisa dengan cara berpuasa kembali atau membayar fidyah.
Dilansir dari laman NU Online, terdapat beberapa kategori bagi orang yang wajib membayar utang puasa atau fidyah karena berhalangan menjalankan puasa Ramadhan:
1. Orang tua renta atau lansia
Kakek atau nenek yang sudah tua renta dan tidak sanggup lagi menjalankan puasa Ramadhan dapat menggantinya dengan membayar fidyah.
Batasan tidak mampu di sini adalah jika tetap dipaksakan berpuasa akan menimbulkan kepayahan (masyaqqah) masyaqqah dalam bab tayamum.
Orang dengan jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan untuk mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan.
2. Orang yang sedang atau memiliki riwayat sakit parah
Orang sakit parah dan tidak memiliki harapan sembuh, serta ia tidak sanggup berpuasa, maka tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan.
Maka sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah. Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya ia akan mengalami kepayahan apabila tetap berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum.
Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, dan tidak ada kewajiban qadha puasa.
Berbeda dengan orang sakit yang masih memiliki harapan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah.
Seseorang diperbolehkan tidak berpuasa apabila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari.
3. Ibu hamil atau menyusui
Ibu hamil atau wanita yang sedang dalam kondisi menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa dan atau mengkhawatirkan keselamatan anak dalam kandunganya.
Namun di kemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan. Jika ia khawatir akan keselamatan diri beserta anaknya, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah.
Namun jika hanya khawatir atas keselamatan anaknya, maka ia wajib membayar fidyah.
4. Orang yang sudah mati
Dalam fiqih Syafi’i, orang yang mati dan meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua.
Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi, yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai orang tersebut mati.
Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli warisnya perihal puasa yang ditinggalkan si mayit tersebut, baik berupa fidyah atau puasa.
Kedua, orang yang wajib membayar fidyah, yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan baginya untuk mengqadha puasa.
Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk seorang mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya.
Biaya pembayaran fidyah dapat diambilkan dari harta peninggalan mayit tersebut.
Menurut pendapat ini, qadha puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit.
Sedangkan menurut pendapat lain, yakni qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua pilihan, membayar fidyah atau berpuasa untuk si mayit.
5. Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan
Orang yang dengan sengaja menunda-nunda qadha puasa Ramadhan, padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha puasa tersebut.
Sampai kemudian datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan.
Fidyah ini diwajibkan baginya sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.
Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki bulan Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan untuk mengqadha puasa.
Ketentuan besaran jumlah dan jenis fidyah
Adapun jumlah dan jenis fidyah yang wajib ditunaikan sebanyak satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia adalah beras. Sehingga, ukuran mud bila dikonversikan ke dalam hitungan gram menjadi sekitar 675 gram atau 6,75 ons.
Hal itu berpijak pada hitungan yang masyhur, di antaranya disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu.
Sementara menurut hitungan Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil wa al-Mawazin al-Syar’iyyah, satu mud adalah 510 gram atau 5,10 ons.
(udn)