- tim tvonenews
Kartel Politik
MEREKA akhirnya bertemu rakyat, sang pemilik mandat yang sesungguhnya. Secara bergelombang sang rakyat mendatangi gedung berpagar tinggi di Senayan pada Kamis, 22 Agustus dua pekan lalu dan memaksa anggota DPR untuk mendengar. Sebab, selama ini mereka ke mana mana selalu mengatasnamakan rakyat, tapi mereka sebenarnya tak pernah benar benar mengenal siapa yang mereka wakili.
Yang terhormat di gedung parlemen itu hanya bertemu rakyat ketika meminta mandat setiap lima tahun sekali dengan proses mirip yang terjadi di pasar ternak: penuh transaksi.
Dengan berjas dan berdasi mereka turun saat reses ke daerah pemilihan, mungkin juga hanya bertemu dengan makelar makelar rakyat saja untuk membahas satu dua program kerja yang dirancang dari “atas”. Dengan kata lain, ini dipahami seperti transaksi "jual putus", ketika sudah mendapatkan suara, mandat, “sang wakil” bisa berbuat sesukanya.
Setelah saling serang dalam pemilu untuk memenangkan jagoan nya masing masing, kini mereka berhimpun dalam biduk yang sama untuk bareng bareng menikmati kekuasaan. Sebuah pertandingan tak menyisakan yang kalah, tak ada oposisi. Jikapun harus ada, itu hanya tempelan saja, penghias, pemantas, namun esensinya kelompok oposisi tak akan berdaya mengontrol penguasa. Singkatnya, pemenang bebas melakukan apa saja. Dan tentu dengan kontestasi yang mirip “arisan,” rakyat tertinggal jadi pihak paling menderita.
Ketika hukum dikuasai mafia di Italia, ada kata baru yang diperkenalkan: “cartello”. Secara etimologi, kata ini berarti “surat provokasi. Para mafia mafia itu lalu mengatur ekonomi seperti “dunia mafia,” para pedagang pedagang diminta kerja sama untuk mengintervensi pasar, meningkatkan harga dan melakukannya monopoli. Semua dilakukan untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya secara sah dan legal.
Sepuluh tahun belakangan kita melihat praktek kartel dalam politik Indonesia. Kita belajar ada kata “stabilitas” dan “harmonisasi”, yang kerap disebut di gedung parlemen adalah cara untuk menyembunyikan sesuatu, melupakan tanggung jawabnya mengontrol pilar negara lainnya, eksekutif. Pihak pihak yang harusnya berkompetisi, mengadu keyakinan politik masing masing tiba tiba seia dan sekata nyaris dalam hal apapun. Tentu di balik itu ada keinginan jabatan jabatan publik dan proyek proyek pemerintah dibagi rata pada semua partai politik yang terlibat dalam kartel.
Dengan pola pikir ini tak aneh jika sebuah “pemufakatan jahat” juga bisa dirancang di Senayan. Mereka membangun skenario ini, merancang sandiwara itu yang ujung ujungnya tidak untuk kemaslahatan orang banyak.
Untuk “mengakali” putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menegaskan syarat usia calon kepala daerah yang sudah ditunggu tunggu publik lama, anggota DPR bisa membuat aturan dengan sangat cepat: tujuh jam saja.
Rapat perdana Baleg DPR dan pemerintah pada Rabu, 21 Agustus 2024 untuk membahas revisi UU Pilkada dimulai pukul 10:00 wib dan hanya berlangsung hanya 30 menit. Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi dengan efektif memimpin rapat, meminta tak ada lagi perdebatan dan persetujuan segera diputus dari seluruh peserta rapat Baleg. Wakil pemerintah yang hadir, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi tak perlu lagi banyak berbicara di forum perumusan undang undang tersebut.
Sebuah akrobatik hukum dipertontonkan dengan telanjang. DPR menolak putusan MK yang harusnya final dan mengikat dan memilih memasukan putusan Mahkamah Agung saat merevisi ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-undang Pilkada. Bunyinya, batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun serta calon bupati, wali kota, wakil bupati dan wakil walikota minimal 25 tahun sejak pelantikan.
Kita tahu “simsalabim hukum” itu dilakukan untuk memberi karpet merah untuk putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep yang sudah siap berlaga di Pilkada Jawa Tengah. Semua surat dan berkas yang dibutuhkan untuk pencalonannya kabarnya telah selesai.
Di sisi lain, kartel politik itu justru ingin menutup munculnya calon calon alternatif di luar kelompoknya. Pada Pilkada Jakarta sebanyak 12 partai politik berkoalisi mendukung pasangan Ridwan Kamil-Suswono. Sebelum putusan MK diketok, satu partai yang tersisa PDIP tidak cukup untuk mengusung pasangan calon.
Tak hanya revisi UU Pilkada yang dibahas ugal ugalan dan “kejar tayang” di masa kerja DPR yang tinggal dua bulan lagi. Masih hangat kontroversi pembahasan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden yang baru diajukan pada 9 Juli 2024, lalu Baleg sudah menggelar rapat tertutup yang memutuskan revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden menjadi usul inisiatif DPR. Selain itu, saat ini DPR juga tak melibatkan publik dalam pembahasan Undang Undang Kementerian Negara, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang TNI dan Undang Undang Kepolisian Republik Indonesia.
Sementara di sisi lain, regulasi yang sudah puluhan tahun ditunggu publik, seperti RUU Perampasan Aset atau RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga diabaikan begitu saja.
Pada akhirnya kita tahu kartel politik merusak segalanya. Pemimpin partai politik membudidayakan kartel dalam pengelolaan organisasi politiknya. Sistem patron-klien diberlakukan. Feodalisme ditumbuhkan. Pengurus diangkat berdasarkan loyalitas pada Ketua Umum Partai. Akibatnya, tak terjadi sirkulasi elit. Pemimpin partai politik orangnya itu itu saja, tak berubah hingga berpuluh puluh tahun.
Mereka akan berkelahi secara periodik, lima tahun sekali. Setelah pemilu bersama sama memburu kekuasaan dan bergabung dengan partai pemenang pemilu. Lalu partai tak ada kaitan lagi dengan pengawasan politik, agen perubahan sosial-politik, tempat penyemaian calon pemimpin, tapi hanya alat pemburu kekuasaan.
Sikap mengejar kekuasaan membuat kemandirian partai politik sebagai wilayah otonom untuk mengkader calon pemimpin hilang. Yang muncul lalu pemimpin pemimpin partai drop dropan penguasa. Baru masuk hitungan hari, seseorang yang dekat dengan “penguasa” bisa langsung jadi Ketua Umum Partai Politik. Bagi kader lama yang membangun karir politik situasi ini bisa tanpa harapan. Meritokrasi hancur.
Padahal, saya membayangkan parlemen seperti sebuah pabrik tahu. Kita tahu ada proses yang berbau bacin, mungkin menjijikan saat pengolahannya, tapi yang dihasilkan adalah sebuah makanan bergizi yang dibutuhkan semua orang. Proses melahirkan regulasi bisa sangat keras, berbenturan, saling serang, saling berbantah-bantahan, tapi hukum yang dihasilkan akan bersinar seperti sebuah intan yang bercahaya indah karena digosok dari banyak sisi.
Karena tak mendapatkan itu semua, dua pekan lalu rakyat yang muak lalu turun ke jalan memenuhi Jalan Gatot Subroto dan Jalan Asia Afrika, mengepung gedung parlemen dan meminta para wakilnya berhenti “bekerja,” memaksa untuk didengarkan dengan menjebol pagar dan pintu gerbang. Setelah cukup lama hanya melihat, kini sang rakyat ingin tampil sendiri dan meminta didengar. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)