Triple Crown Rekor Sulit di Pacuan Kuda, Kenapa?
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Dalam dunia pacuan kuda, hanya ada satu gelar yang mampu membungkam stadion dengan kekaguman, memicu sorak sorai yang mengguncang lintasan, dan mengabadikan nama dalam sejarah: Triple Crown.
Gelar ini bukan sekadar simbol tiga kemenangan beruntun. Ia adalah lambang supremasi mutlak. Hanya kuda-kuda terbaik, dengan joki yang memiliki insting tajam dan didukung tim pelatih berani serta strategi presisi, yang layak menyandangnya.
Triple Crown merujuk pada tiga balapan paling bergengsi dalam satu musim yang harus dimenangi oleh seekor kuda pacuan berusia tiga tahun. Karena hanya terbuka bagi kuda usia tersebut, kesempatan mengejar Triple Crown hanya datang sekali seumur hidup—tak ada ulangan, tak ada musim kedua.
Sangat Sulit Diraih
Menggapai Triple Crown bukan perkara mudah. Pertama, ketiga balapan memiliki jarak berbeda, menuntut keseimbangan antara kecepatan dan daya tahan. Kedua, jeda antarbalapan biasanya singkat, membuat pemulihan fisik menjadi tantangan besar.
Selain itu, lawan-lawan yang dihadapi adalah para juara seangkatan. Belum lagi faktor luar seperti kondisi cuaca, kualitas lintasan, posisi start, hingga tekanan dari media. Tak heran jika hanya sedikit yang berhasil menaklukkan tantangan ini dan mengukir namanya sebagai Triple Crown Champion.
Triple Crown di Berbagai Negara
Amerika Serikat memiliki tiga balapan legendaris: Kentucky Derby (1.600 m), Preakness Stakes (1.900 m), dan Belmont Stakes (2.400 m). Dalam sejarah panjangnya, hanya 13 kuda berhasil menyapu bersih semuanya. Terakhir adalah Justify (2018), setelah American Pharoah (2015) memecah kebuntuan hampir 40 tahun.
Di Inggris, tempat lahirnya pacuan kuda modern, Triple Crown menjadi legenda yang sulit ditaklukkan: 2000 Guineas (1.600 m), The Derby (2.400 m), dan St. Leger (2.900 m). Sejak Nijinsky berjaya pada 1970, belum ada lagi yang berhasil menuntaskan ketiganya. Camelot sempat hampir sukses di 2012, namun gagal di langkah terakhir.
Jepang mengenal Triple Crown sebagai Sambakan, mencakup Satsuki Shō (2.000 m), Tokyo Yūshun / Japanese Derby (2.400 m), dan Kikuka Shō (3.000 m), dengan durasi berlangsung dari April hingga Oktober. Hingga 2023, baru delapan kuda jantan berhasil, terakhir Contrail di tahun 2020. Jepang juga punya versi khusus kuda betina, Triple Tiara, yang baru-baru ini dimenangi oleh Liberty Island (2023).
Di Australia, Triple Crown memiliki dua versi. Untuk kuda jantan usia 3 tahun: Randwick Guineas, Rosehill Guineas, dan Australian Derby. Sedangkan untuk sprinter: Lightning Stakes, Newmarket Handicap, dan TJ Smith Stakes. Kuda-kuda seperti Octagonal dan It’s A Dundeel pernah berjaya, sementara sprinter legendaris Black Caviar tetap menjadi ikon tak terkalahkan.
Hong Kong menghadirkan Triple Crown yang sangat langka karena terbuka bagi kuda dewasa. Tiga balapannya adalah Stewards’ Cup, Hong Kong Gold Cup, dan Champions & Chater Cup. Baru dua kuda berhasil meraihnya: River Verdon (1994) dan Voyage Bubble (2025), mencerminkan betapa beratnya pencapaian ini.
Setiap negara punya karakteristik unik, namun satu benang merah menyatukannya: tiga kemenangan dalam satu musim, dalam tantangan tersendiri.
Triple Crown di Indonesia
Di Tanah Air, Triple Crown juga menjadi pencapaian puncak. Digelar dalam tiga seri: Seri I (April, 1.200 m), Seri II (Mei, 1.600 m), dan ditutup dengan Indonesia Derby (Juli, 2.000 m). Meskipun jaraknya tak sepanjang luar negeri, tantangannya tetap luar biasa berat.
Hingga kini, hanya dua kuda yang pernah meraihnya: Manik Trisula (2002) dan Djohar Manik (2014). Selebihnya, banyak yang nyaris, namun selalu ada satu leg yang menggagalkan.
Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Ir. H. Munawir, menjelaskan bahwa desain Triple Crown Indonesia mempertimbangkan daya tahan kuda lokal. Jarak Derby tak dibuat 2.400 meter seperti di luar negeri demi keselamatan dan realisme performa.
Sama seperti di negara lain, Triple Crown Indonesia hanya bisa diikuti kuda berusia tiga tahun—kesempatan sekali seumur hidup.
Sejarah Baru Menanti
Kini, pecinta pacuan kuda di Indonesia tengah menanti sejarah baru: King Argentine, kuda yang telah menjuarai Serie 1 dan Serie 2, hanya tinggal satu langkah lagi menuju takhta. Jika ia menang di Indonesia Derby (27 Juli 2025), maka namanya akan sejajar dengan para legenda Triple Crown Indonesia.
Triple Crown bukan sekadar pencapaian tiga kemenangan. Ia adalah ujian tertinggi tentang kekuatan fisik, kecepatan stabil, strategi tepat, dan keberuntungan yang menyertai.
Banyak yang mencoba, hanya sedikit yang mampu.
Kini, Indonesia menunggu: apakah pada 27 Juli nanti, mahkota Triple Crown akan menemukan pemilik barunya?
Load more