Rumah Ahmad Sahroni Dijarah Massa, Kini Giliran Uya Kuya dan Eko Patrio Jadi Sasaran? Ternyata Hukumnya Dalam Islam Termasuk...
- YouTube/@pandji.pragiwaksono
Dalam kacamata Islam, peristiwa penjarahan rumah Ahmad Sahroni menimbulkan diskusi serius mengenai hukum mengambil barang orang lain. Kaidah fiqih yang sangat masyhur menyebutkan:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات
"Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang."
Landasan ini terdapat dalam firman Allah SWT:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 173).
Ayat ini menjadi dasar bahwa dalam kondisi darurat, seseorang boleh mengambil yang haram sekadar untuk menyelamatkan jiwa.
Misalnya saat kelaparan hebat atau bencana besar, korban boleh memakan makanan haram sekadar untuk bertahan hidup.
Bahkan, para ulama seperti Syaikh As-Sa’di menegaskan bahwa jika seseorang membiarkan dirinya mati padahal ada makanan meski haram, maka ia berdosa karena dianggap membunuh dirinya sendiri.
Penjarahan: Antara Darurat dan Pelanggaran
Meski demikian, penting dicatat bahwa kondisi darurat yang membolehkan hal terlarang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, di antaranya:
1. Benar-benar ada bahaya yang mengancam jiwa.
2. Tidak ada alternatif halal lain.
3. Pengambilan barang haram hanya sebatas kebutuhan pokok, tidak berlebihan.
Dalam kasus penjarahan rumah Ahmad Sahroni, jelas konteksnya berbeda. Massa yang merusak dan menjarah rumah tidak dalam kondisi kelaparan atau kehausan yang mengancam jiwa.
Aksi mereka lebih dilatarbelakangi oleh kemarahan politik dan kekecewaan sosial. Oleh karena itu, perbuatan merusak rumah, mencuri barang, hingga mengarak mobil jelas termasuk dosa besar. Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
"Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Load more