tvOnenews.com - Bila suami dan istri yang sudah berwudhu saling bersentuhan, apakah wudhunya akan batal atau tidak? Buya Yahya beri penjelasannya.
Seperti yang diketahui, bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang sudah baligh dapat membatalkan wudhu.
Namun, apabila suami istri tidak sengaja saling bersentuhan kulit, apakah tetap membatalkan wudhu?
Berdasarkan beberapa mazhab, terdapat dua pendapat mengenai suami istri ketika bersentuhan kulit dapat membatalkan wudhu atau tidak.
Lantas, bagaimana sebenarnya membatalkan atau tidak wudhu seorang suami atau istri jika saling bersentuhan kulit?
Seperti apa penjelasan Buya Yahya mengenai hal tersebut? Simak informasinya berikut ini.
Buya Yahya. (Ist)
Dikutip tvOnenews.com dari tayangan di YouTube Al Bahjah TV, Buya Yahya memberikan penjelasan mengenai batal tidaknya wudhu bagi suami istri yang bersentuhan kulit.
Buya Yahya mengatakan mazhab yang paling banyak digunakan dan mendominasi di Indonesia yaitu mazhab Imam Syafii.
Dalam mazhab tersebut, bersentuhan antara laki dan perempuan jelas membatalkan wudhu meskipun berstatus suami istri.
"Karena mazhab Indonesia adalah Syafii, mazhab Syafii adalah bersentuhan laki dan perempuan adalah batal. Suami istri juga batal," ungkap Buya Yahya pada tayangan YouTube Al Bahjah TV.
Sementara di dalam mazhab Hanafi, hal yang membatalkan wudhu adalah adanya sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur, menyentuh kemaluan dan tidur.
Buya Yahya menjelaskan dalam mazhab ini, bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu.
Jika ada orang di Indonesia yang mengikuti mazhab Hanafi dan menganggap bahwa bersentuhan kulit tidak membatalkan wudhu, maka hal tersebut diperbolehkan.
"Misalnya wanita tersebut pernah sekolah di Maroko atau di Mesir atau ke India, belajar di sana mazhab Hanafi. Boleh pulang-pulang dia punya fiqih, tidak batal. Ada sandaran ilmunya," jelas Buya Yahya.
Jadi, bagaimana sebaiknya dalam menjalankan wudhu?
Hal-hal yang membatalkan wudhu sudah disebutkan berbeda di masing-masing mazhab.
Di Indonesia, yang paling banyak digunakan adalah dari Imam Syafii.
Jika menjalankan suatu fiqih berdasarkan pendapat para ulama, baik itu Syafii, Maliki, Hambali, atau Hanafi maka diperbolehkan selama memang memiliki dasar yang jelas.
Oleh karena itu, menjalankan ibadah boleh mengikuti mazhab yang paling diyakini. (iwh/kmr)
Load more