Watak Ingin Cepat Kaya Bikin Investasi Bodong Masih Marak di Indonesia, OJK: Malas Baca
- Ilustrasi/Wildan Mustofa
Jakarta, tvOnenews.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan bahwa praktik investasi ilegal atau investasi bodong sampai saat ini masih marak di Indonesia.
OJK membeberkan bahwa satu alasannya adalah rendahnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk keuangan.
Kepala Divisi Layanan Manajemen Strategis dan Koordinasi Regional, Kantor OJK Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek), Andes Novytasary, menyebut hal itu diperparah dengan perilaku malas membaca menjadi penyebab utama masyarakat kurang memahami risiko investasi.
Padahal, minat masyarakat Indonesia menggunakan produk keuangan terbilang tinggi.
"Tingkat pemahaman masyarakat masih kurang. Tapi dari sisi penggunaan produk keuangan tinggi. Karena perilaku kita itu sebenarnya malas baca," ujar Andes di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Dalam diskusi bertema “Investasi Ilegal: Ancaman Nyata Bagi Aset dan Masa Depan”*, Andes merujuk pada hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang mencatat indeks inklusi keuangan Indonesia mencapai 80,51 persen, sedangkan indeks literasi keuangan berada di angka 66,46 persen.
Andes menilai, selain rendahnya literasi, masyarakat kerap terburu-buru mempraktikkan investasi tanpa mempelajari teori atau memahami produk terlebih dahulu.
"Karena mau langsung mempraktikkan, jadi langsung menggunakan produk keuangan tanpa paham produknya," ujarnya.
Fenomena ini juga diperparah oleh kebiasaan mengikuti tren media sosial tanpa menyesuaikan dengan kondisi keuangan pribadi atau profil risiko masing-masing.
Menurut Andes, gencarnya promosi investasi di platform digital semakin memicu perilaku masyarakat yang ingin serba cepat dan instan.
"Jadi karena kurang suka membaca di awalnya, kemudian ingin praktis, ditambah dengan promosi di media sosial, ada perilaku yang ingin cepat kaya," kata Andes.
Faktor lain yang membuat investasi ilegal sulit diberantas adalah pesatnya digitalisasi. Teknologi memudahkan pelaku untuk membuat situs atau aplikasi baru sebagai sarana penipuan, sehingga aparat penegak hukum harus berpacu dengan waktu.
"Satu aplikasi atau satu web terindikasi melanggar kemudian terkena penindakan. Pada saat kami melakukan penindakan, dengan mudahnya membuat aplikasi ataupun web yang baru lagi," jelasnya.
Persoalan ini menjadi tantangan besar bagi otoritas dan aparat hukum, sehingga dibutuhkan kolaborasi lintas pihak untuk meningkatkan literasi keuangan dan memperketat pengawasan di dunia digital. (ant/rpi)
Load more