Gugat Perpu PUPN ke MK, Pengusaha Ini Ngaku 27 Tahun Dizalimi Negara: Bermula dari Sengkarut BLBI, Aset Ratusan Miliar Disita
- tvOnenews.com/Rilo Pambudi
Lebih lanjut, Andri menilai kewenangan PUPN yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) terlalu luas, bahkan cenderung membuka celah tindakan sepihak yang berisiko melanggar hak konstitusional warga negara.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan PUPN menghentikan seluruh proses penyitaan dan pelelangan terhadap aset miliknya dan sang istri. Ia juga memohon agar MK menyatakan Perppu 49/1960 bertentangan dengan UUD 1945, dan mendorong DPR serta Pemerintah segera merancang regulasi baru yang lebih adil.
Pemohon turut meminta agar segala bentuk tindakan PUPN—mulai dari penetapan utang, surat paksa, hingga eksekusi lelang—dinyatakan tidak sah dan dihentikan setelah putusan Mahkamah dibacakan.
Respons Ketua PUPN
Menanggapi hal ini, Ketua PUPN Pusat, Rionald Silaban, menyatakan bahwa lembaganya bertindak berdasarkan mandat undang-undang. Ia menjelaskan bahwa PUPN berwenang mengelola piutang negara yang diserahkan oleh kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah.
Dalam praktiknya, lanjut Rionald, PUPN memiliki otoritas untuk menerbitkan berbagai dokumen resmi, mulai dari penetapan piutang hingga perintah penyitaan dan pelelangan.
“Peran PUPN dalam mengurus piutang negara berdasarkan UU PUPN telah diperkuat oleh banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, di antaranya Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 41A ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, dan PP Nomor 28 Tahun 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara,” jelas Rionald.
Perkara ini menjadi penting karena tidak hanya menyangkut satu individu, melainkan mencerminkan persoalan struktural dalam sistem pengelolaan piutang negara.
Proses uji materi di MK membuka ruang diskusi publik yang lebih luas tentang batasan kewenangan lembaga negara dan perlindungan hak konstitusional warga.
Hasil putusan MK nanti akan menjadi preseden penting dalam mengawal keadilan hukum dan kepastian hak warga negara, khususnya dalam perkara perdata terkait piutang negara yang potensial bersinggungan dengan hak milik individu.
Persidangan keempat ini dijadwalkan menghadirkan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pihak terkait dari PUPN, serta saksi dan ahli dari pihak Pemohon.
Namun, pihak DPR tidak hadir dalam sidang yang menjadi salah satu fase krusial dalam pengujian konstitusionalitas Perpu yang dinilai tidak lagi sesuai dengan semangat UUD 1945.
Load more