Yogyakarta, tvOnenews.com - Pengesahan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR RI yang berlangsung pada Kamis (20/3/2025) kemarin berujung ricuh di sejumlah daerah, termasuk Yogyakarta.
Di kota pelajar ini, aksi dimulai sekitar pukul 11.00 WIB. Massa dari sejumlah elemen masyarakat meluapkan emosinya dengan membakar safety traffic cone.
Menjelang sore hari, peserta demonstran yang membawa plastik berisikan sampah kemudian membuang dan menyebarkannya di teras. Mereka juga melakukan aksi vandalisme dan memecah kaca gedung wakil rakyat tersebut.
Menuju malam hari, aparat kepolisian mulai mengerahkan pasukannya untuk mengusir para demonstran. Polisi diketahui juga menembakkan water canon ke arah massa. Sekira pukul 02.00 WIB, massa berhasil dibubarkan oleh polisi.
Merespon hal tersebut, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X memperbolehkan masyarakat untuk menyampaikan aspiranya.
"Ya gak papa kalau itu aspirasi, gak ada masalah. Silakan saja," kata Sultan ditemui di Kompleks Kepatihan, Jumat (21/3/2025).
Menurutnya, demokrasi di Yogyakarta dimungkinkan bisa tumbuh berkembang. Asalkan, jangan merusak fasilitas umum karena perbuatan tersebut tidak bagus.
Raja Keraton Yogyakarta tersebut juga menegaskan agar masyarakat menahan emosi.
"Perkara menyampaikan aspirasi ya silakan. Tapi, jangan merusak dan mestinya tidak emosi seperti itu. Kalau itu yang terjadi saya prihatin," ucap Sri Sultan.
Sebab, jika hal itu terjadi akan merugikan mahasiswa dan akan menimbulkan penilaian buruk dari masyarakat.
"Yang rugi kan mahasiswa sendiri, karena penilaian (buruk) masyarakat yang akan terjadi," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR RI ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 berlangsung di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Pengesahan RUU tersebut diketok oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani dalam rapat tanpa satupun fraksi DPR yang memberikan penolakan. Dalam UU TNI tersebut, terdapat beberapa pasal yang dianggap krusial.
Pertama, dalam Pasal 53 berbunyi batas usia pensiun prajurit. Pangkat bintara dan tantama paling tinggi 55 tahun. Perwira sampai pangkat Kolonel paling tinggi 58 tahun. Perwira tinggi bintang 1 paling tinggi 60 tahun.
Perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun. Perwira tinggi bintang 3 paling tinggi 62 tahun. Perwira tinggi bintang 4 paling tinggi 63 tahun, bisa diperpanjang dua kali, satu kali perpanjangan untuk 1 tahun.
Presiden yang punya kebebasan buat perpanjang batas usia pensiun Perwira tinggi bintang 4, jika dibutuhkan. Sebelum revisi, batas usia perwira paling tinggi 58 tahun, bintara dan tantama 53 tahun.
Kedua, Pasal 3 yang berbunyi kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi yang berkaitan dengan aspek perencanaan strategis, TNI berada dalam koordinasi Kementerian Pertahanan. Sebelumnya berbunyi, dalam kebijakan dan strategis pertahanan serta dukungan administrasi, TNI berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.
Ketiga, Pasal 47 berbunyi prajurit bisa duduki jabatan Kementerian/Lembaga yang membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara termasuk Dewan Pertahanan Nasional, Kesekretariatan Negara yang mengurus Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden, Intelijen Negara, Siber dan atau sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Pengelola Perbatasan, Penanggulangan Bencana, Penanggulangan Terorisme, Keamanan Laut, Kejaksaan RI dan Mahkamah Agung. Selain mendukuki jabatan di Kementerian/Lembaga tersebut, prajurit bisa duduki jabatan sipil lain setelah mundur atau pensiun dari TNI aktif. Sebelumnya berbunyi, prajurit cuma bisa duduki jabatan sipil setelah mundur atau pensiun sebagai TNI aktif. Ketentuan ayat 1 itu tak berlaku bagi prajurit yang tugas di kantor yang membidangi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Negara, Dewan Pertahanan Negara, SAR Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung. (scp/buz)
Load more