Sleman, tvOnenews.com - Pamer harta di dunia maya atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah flexing sebenarnya bukan hal yang baru. Hal itu merupakan fenomena lama tetapi hanya berbeda masa dan teknologi.
Substansinya sama, yaitu melakukan suatu perbuatan agar mendapat pujian dari orang lain atau (yang dalam agama Islam) dikenal dengan istilah riya’.
"Kenapa saya katakan bukan fenomena baru? Karena pada masa Rasulullah Muhammad SAW sudah ada yaitu tatkala para orang-orang Quraisy dalam berpakaian dengan mengenakan jubah atau celana yang panjang sampai di bawah mata kaki sehingga klengsreh atau menyentuh tanah," kata Bono Setyo, Direktur COMTC (Center for Communication Studies and Training) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Jumat (3/3/2023).
"Nah kala itu kemudian oleh Rasulullah umat Islam dilarang mengikuti perilaku yang demikian itu karena itu merupakan (kala itu) sikap atau perilaku sombong," sambungnya.
Fenomena flexing menurut Bono juga selalu ada dari masa ke masa. Hanya saja kenapa sekarang ini menjadi marak atau viral karena tidak lepas dari perkembangan teknologi komunikasi berupa media sosial.
Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya adalah keberadaan netizen atau warganet. Contoh terbaru adalah pamer harta dan kemewahan yang dilakukan pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo dan anaknya, Mario Dandy.
Kemudian ada juga flexing yang dilakukan mantan Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto. Buntut dari aksi flexing tersebut, jabatan Eko dicopot oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Menurut Bono, aksi flexing pejabat tersebut telah menimbulkan butterfly effect, yakni sebuah perubahan kecil telah memberikan dampak yang besar dalam jangka panjang atas suatu peristiwa
Bono menjelaskan, butterfly effect dalam fenomena flexing ini terlihat dari beberapa hal, salah satunya adalah the power of netizen.
"Netizen yang biasa dikenal sebagai maha benar atas segala komennya kali ini benar-benar memiliki andil yang luar biasa positif dalam mengawal kasus-kasus di Indonesia. Tidak hanya soal Mario Dandy, Kepala Bea Cukai Yogyakarta, tapi juga Sambo, Tedi Minahasa, dll," beber Bono.
Lebih lanjut menurut Bono, butterfly effect ini juga berdampak pada pola kerja jurnalisme.
"Kalau dulu seorang wartawan ketika membuat berita harus mencari info-info di lapangan, namun sekarang tidak harus seperti itu, cukup mengamati info-info yang viral di medsos untuk selanjutnya ditindaklanjuti menjadi berita," ungkapnya.
"Tapi yang harus menjadi catatan penting bagi seorang jurnalis di sini haruslah tetap menggunakan prinsip-prinsip jurnalisme. Antara lain cover both side, pentingnya verifikasi dan cek ricek, investigasi, dll agar dapat menghasilkan berita yang berkualitas dan akurat," imbuhnya.
Selain itu, kasus flexing ini juga menggambarkan keroposnya nilai-nilai sosial (sosial value) di masyarakat.
"Hal ini berkaitan dengan rasa empati, rasa kepedulian, toleransi, dll yang menunjukkan berkurangnya kualitas pendidikan karakter di Indonesia," pungkasnya. (Apo/Buz).
Load more