Surabaya, tvOnenews.com - Kewenangan DPR RI untuk mencopot pejabat negara melalui revisi peraturan DPR nomor 1 tahun 2020 tentang tata tertib, memicu polemik di kalangan publik.
Kewenangan baru DPR RI ini mendapat sorotan dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN – HAN) Jawa Timur, yang menilai tidak tepat dan berpotensi akan terjadi penyalahgunaan wewenang. Selain itu, perubahan ini dapat menyebabkan munculnya fenomena "legislatif heavy", yaitu kondisi dimana DPR memiliki kekuasaan lebih besar dari pada lembaga negara lainnya.
Hal ini disampaikan Sekjen Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur, Dr. Hufron SH MH, dalam sebuah webinar nasional kerjasama dengan Univ Wisnuwardhana.
Para ahli yang hadir dalam webinar ini, termasuk Dr. Haryono, SH, mantan hakim MK, dan Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, turut mengingatkan bahwa revisi tersebut berpotensi merusak sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menurut Hufron, pihaknya merasa risau dengan perubahan tersebut. Pasal 228a yang disisipkan dalam revisi peraturan tersebut, memperluas kewenangan dpr untuk evaluasi berkala terhadap pejabat Negara yang telah melalui fit and proper test oleh DPR RI. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan ahli hukum tata Negara.
"Pasal 228a ini berpotensi mengganggu prinsip trias politika di Indonesia, yang mengatur keseimbangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan adanya kewenangan DPR yang lebih luas untuk mengevaluasi pejabat secara berkala, terutama pejabat yang sudah lulus fit and proper test, kami khawatir hal ini akan memicu intervensi politik terhadap kekuasaan eksekutif dan yudikatif," tegas Hufron.
Revisi ini menyebutkan kewenangan bagi DPR untuk melakukan evaluasi terhadap 36 lembaga negara yang diwajibkan menjalani fit and proper test. Hasil evaluasi yang bersifat mengikat dapat mempengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil oleh lembaga negara lainnya.
Load more