"Ya, kenaikan dalam satu tahun sangat drastis terus mulai dari tahun 2021 terus naik. Akhirnya pengaruh ke produksi tempe," ujarnya.
Berbeda dengan Markuat, Sudjoko yang juga warga kampung Tempe Sukomanunggal Surabaya, sudah mengurangi produksinya sejak awal pandemi 2020 silam.
“Sebelum pandemi Covid-19, tempe yang dihasilkan bisa 1 kwintal. Namun saat ini hanya 80-75 kilogram saja . Apalagi sekarang ditambah dengan naiknya harga kedelai yang mempengaruhi pendapatan kami perajin tempe,” kata Djoko.
Perajin tahu tempe berharap pemerintah kota Surabaya bisa hadir untuk memberikan intervensi dalam menstabilkan harga kedelai, agar perajin tidak dibebankan oleh biaya produksi yang mahal, dan juga pendapatan yang semakin menurun.
Imbas dari harga bahan baku kedelai, tak hanya berdampak pada perajin dan pedagang saja, tetapi juga konsumen. Perajin tidak bisa menurunkan harga jual atau menstabilkannya.
"Kalau konsumen ketinggian harganya, kasihan korbannya konsumen juga. Kalau libur (jualan) tahu dan tempe ini lumayan banyak yang juga akan berdampak. Ya mau gimana lagi," pungkas Djoko. (Zainal Azhari/hen)
Load more