Sumur Rakyat dan Kemandirian Energi
- Antara
Menata Ulang Relasi Negara, Korporasi, dan Warga
Salah satu titik lemah dalam tata kelola energi Indonesia adalah relasi yang timpang antara negara, korporasi besar, dan warga. Kerja sama pengelolaan sumur rakyat yang melibatkan Pertamina, BUMD, koperasi, dan UMKM sesungguhnya membuka peluang koreksi atas ketimpangan ini. Lifting minyak dari sumur rakyat yang disalurkan melalui kanal resmi ke Pertamina akan tercatat sebagai bagian produksi nasional, sekaligus memberikan manfaat ekonomi yang lebih transparan bagi masyarakat. Sebaliknya, transaksi ke kilang ilegal harus dihentikan melalui kombinasi penutupan fasilitas, pemutusan rantai distribusi, dan sanksi tegas kepada aktor intelektual maupun operator di lapangan.
Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah harus memastikan dukungan anggaran dan kelembagaan yang memadai bagi Timdu maupun skema kemitraan sumur rakyat. Tanpa dukungan anggaran, pengawasan lingkungan hanya akan menjadi wacana, dan pendampingan teknis akan berhenti sebagai slogan. Ini penting agar kemandirian energi tidak dibayar dengan kerusakan lingkungan dan korban jiwa akibat praktik pengeboran dan pengolahan yang tidak memenuhi standar keselamatan.
Pada akhirnya, pengelolaan sumur rakyat adalah cermin cara negara memperlakukan rakyatnya dalam sektor strategis. Apakah rakyat ditempatkan sebagai pemilik sah nilai tambah energi, atau sekadar pelengkap dalam rantai produksi yang terkonsentrasi pada segelintir aktor kuat ? Kerja sama antara Pertamina dan PT Batanghari Sinar Energi memberikan harapan bahwa opsi pertama masih mungkin diperjuangkan, asal konsistensi kebijakan dan keberpihakan pada rakyat tidak berhenti di meja penandatanganan perjanjian.
Sumur rakyat tidak lagi layak diposisikan sebagai anomali hukum yang dibiarkan abu-abu. Ia adalah bagian dari strategi energi nasional yang jika dikelola dengan prinsip keterbukaan, pengawasan ketat, dan pendampingan teknis, mampu menghadirkan manfaat sosial ekonomi nyata bagi masyarakat sekaligus memperkuat ketahanan energi negara. Di tengah defisit minyak yang terus membayangi dan kompetisi global atas sumber daya energi, menempatkan rakyat sebagai mitra negara dalam pengelolaan migas adalah pilihan rasional sekaligus konstitusional.
Tantangannya kini bukan lagi apakah sumur rakyat perlu diakui, tetapi sejauh mana negara berani menjadikannya pilar kemandirian energi. Apakah kerja sama seperti yang dilakukan Pertamina dan PT Batanghari Sinar Energi akan diperluas, direplikasi, dan dijaga akuntabilitasnya, atau hanya menjadi catatan singkat dalam sejarah kebijakan energi Indonesia. Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan, apakah kedaulatan energi benar-benar dimaknai sebagai “dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, atau sekadar slogan yang berakhir di atas kertas regulasi.(chm)
Load more