Sumur Rakyat dan Kemandirian Energi
- Antara
Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana negara memosisikan sumur rakyat ? Apakah sekadar objek penertiban dan obyek pajak, atau sebagai mitra dalam ekonomi energi partisipatif ?. Jika negara terlalu menekankan pendekatan administratif yang kaku, risiko etatisme mengintai, di mana negara mengontrol hampir semua aspek produksi dan distribusi, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh kasar tanpa posisi tawar. Padahal, mandat konstitusi melalui Pasal 33 UUD 1945 dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hak menguasai negara tidak identik dengan monopoli absolut, tetapi mengandung kewajiban untuk membuka ruang partisipasi rakyat.
Dari Legalitas Menuju Keadilan
Secara ekonomi, legalisasi dan pembinaan sumur rakyat membuka peluang perluasan kapasitas produksi nasional sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pemerintah sebenarnya telah menyediakan kerangka regulasi melalui Permen ESDM No. 14 Tahun 2025 dengan skema pembinaan selama empat tahun oleh Ditjen Migas, SKK Migas, serta pelibatan koperasi, UMKM, dan BUMD. Namun legalitas di atas kertas tidak otomatis menjelma menjadi keadilan di lapangan. Di sinilah celah sering muncul, program bagus di pusat tetapi gagap saat menyentuh realitas desa dan kampung.
Salah satu persoalan besar adalah maraknya sumur dan kilang ilegal yang menimbulkan risiko lingkungan, mengancam keselamatan kerja, dan merugikan keuangan negara. Banyak pelaku di level bawah terjebak dalam jaringan pembelian minyak oleh kilang ilegal yang menawarkan harga menarik, tetapi menempatkan mereka dalam posisi rentan secara hukum dan sosial. Jika negara hanya hadir sebagai aparat penertiban, tanpa menawarkan skema alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan, maka resistensi sosial dan praktik bisnis bawah tanah akan terus berulang.
Karena itu, gagasan pembentukan Tim Terpadu (Timdu) Penegakan Hukum Sumur Masyarakat di daerah penghasil migas menjadi krusial. Tim ini perlu melibatkan unsur kepolisian, TNI, kejaksaan, pemerintah daerah, BUMD, dinas teknis dan lingkungan, serta instansi di lingkungan Kementerian ESDM. Namun keberadaan Timdu tidak boleh dipahami semata sebagai “alat pukul”, melainkan juga sebagai motor koordinasi pembinaan, pendampingan teknis, dan edukasi kepada masyarakat. Penegakan hukum yang keras (hard approach) harus diimbangi dengan pendekatan lunak (soft approach) berupa sosialisasi, pelatihan teknis, dan penguatan kapasitas manajerial pelaku sumur rakyat.
Load more