Konflik Pemanfaatan Lahan dan Sumber Daya Alam: Antara Pembangunan Ekonomi dan Konservasi
- Dok. Greenpeace
Oleh: Tim Perumus Kelompok 3 Policy Brief PKN II Angkatan XV LAN RI
tvOnenews.com - Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mendorong hilirisasi dan industrialisasi sebagai pilar daya saing global. Kebutuhan ruang dan sumber daya alam sering berbenturan dengan kawasan konservasi, hutan lindung dan wilayah adat. Ketidaksinkronan tata ruang, lemahnya penegakan hukum, serta dominasi pembangunan ekstraktif menimbulkan konflik lahan dan sumber daya. Data Kementerian Kehutanan dan Global Forest Watch (2024) mencatat hilangnya 216.200 Ha hutan alam hanya dalam setahun, dengan lebih dari 1.200 komunitas adat terdampak tumpang tindih lahan dan konflik agraria.
Dampak yang ditimbulkan sangat signifikan, data resmi Kementerian Kehutanan mencatat deforestasi netto Indonesia tahun 2024 mencapai 175.400 Ha, berasal dari deforestasi bruto sebesar 216.200 Ha dikurangi reforestasi seluas 40.800 Ha. Namun data alternatif dari Auriga Nusantara menyebut deforestasi nyata bisa lebih tinggi, yakni 261.575 Ha pada 2024 meningkat dibandingkan 2023 sebesar 257.380 ha, dengan Kalimantan sebagai penyumbang utama deforestasi. Berbagai bentuk kerusakan termasuk tumpang tindih konsesi industri (kayu, sawit, tambang), deforestasi habitat satwa seperti Orang Utan, Harimau, Gajah, serta internalisasi lahan masyarakat adat yang terabaikan.
Dalam dua tahun terakhir, deforestasi total mencapai 1,93 juta hectare melampaui target yang ditetapkan dalam strategi FOLU Net Sink 2030. Dari sisi regulasi dan penegakan hukum, pemerintah telah mengambil langkah tegas terhadap eksploitasi SDA illegal, survei terbaru menemukan 5 juta Ha perkebunan sawit bermasalah, dengan sekitar 3,7 juta Ha beroperasi melanggar hukum, dan 3,1 juta Ha sudah disita.
Dari perspektif ekonomi, ketergantungan yang tinggi pada sektor ekstraktif menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global, sehingga mengancam stabilitas ekonomi nasional. Kerusakan lingkungan juga menimbulkan biaya pemulihan yang sangat tinggi, bahkan seringkali lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi jangka pendek yang diperoleh dari eksploitasi. Hilangnya jasa ekosistem seperti ketersediaan air bersih, penyerapan karbon, dan potensi ekowisata semakin memperlemah keberlanjutan ekonomi di masa depan.
Sementara itu, dari sisi global, ketidakmampuan menjaga keberlanjutan menjadikan Indonesia rawan menghadapi hambatan perdagangan dan sanksi internasional, terutama dengan diberlakukannya regulasi seperti EU Deforestation Regulation 2025 yang menuntut transparansi dan praktik berkelanjutan dalam rantai pasok komoditas. Secara keseluruhan, dampak konflik ini tidak hanya menggerus kualitas lingkungan dan kesejahteraan sosial, tetapi juga melemahkan daya saing Indonesia dalam percaturan ekonomi global serta mengancam pencapaian komitmen internasional seperti Paris Agreement dan target FOLU Net Sink 2030.
Load more