Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden, Paradoks Demokrasi dan Barbarisme Politik
- Istimewa
Dalam perspektif demokrasi, tentu segala bentuk diskursus yang datang dari civil society dapat dianggap sebagai sesuatu yang sah kendati logika, basis argumentasi dan landasan filosofi yang dinarasikan harus diuji melalui kebenaran objektif.
Sebagai sebuah hasil konsensus bersama, demokrasi memang memberi ruang kebebasan. Namun, pada bagian tertentu, demokrasi harus dijalankan secara konstitusional guna menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara ditengah iklim demokrasi itu sendiri.
Berkaca pada konteks hari ini, Presiden Prabowo Subianto yang telah hatam memahami seluk beluk persoalan di republik secara cepat mengambil langkah untuk memperjuangkan sebuah sistem demokrasi yang dibangun diatas kedaulatan hukum serta keberpihakan hukum pada nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Secara sadar, Prabowo memahami bila demokrasi tidak boleh menjadi alat melanggar hukum atau medium pembantu dan atau kolam kebebasan yang mengakomodir kepentingan para pelanggar hukum.
Kini, adigium keadilan harus ditegakkan walau langit akan runtuh (Fiat justitia ruat caelum) menjadi manifestasi dari spirit pemerintahan Prabowo-Gibran yang mendapatkan amanah dari mayoritas rakyat sebagai presiden dan wakil presiden indonesia untuk mewujudkan supremasi hukum serta demokrasi substansial secara berkesinambungan.
Namun, ditengah perjuangan tersebut, ada pihak-pihak yang tampaknya mulai bermunculan dengan agenda untuk mendelegitimasi status quo-keduanya yang dipilih secara demokratis serta melalui mekanisme konstitusional.
Belakangan, gerakan politik yang dilakukan oleh kelompok ini semakin masif, bahkan manuvernya diarahkan agar Presiden Prabowo terprovokasi melanggar konstitusi.
Misal, alih-alih ingin menyelematkan bangsa dan negara, sejumlah pensiunan Jenderal yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Purnawirawan TNI memberikan 8 rekomendasi kepada Presiden Prabowo dan MPR di acara Silaturahmi Purnawirawan Prajurit TNI dengan Para Tokoh Masyarakat pada 17 April 2025.
Satu dari 8 rekomendasinya adalah meminta MPR mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dinilai pencalonannya melanggar hukum.
Tuntutan ini sebenenarnya tergolong absurd, karena persoalan di MK telah diproses dan sanksi etik telah dijatuhkan oleh MKMK kepada Ketua MK saat itu Anwar Usman.
Tidak hanya itu sengketa hasil pilpres pun telah final dan mengikat. Terbukti, pada 20 Oktober 2024 oleh MPR, Gibran Rakabuming Raka dilantik bersama Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Load more