(Sejumlah anggota DPR melakukan swafoto. Sumber: ANTARA)
Ideologi parpol hanya tertulis indah di AD/ART untuk mendaftar sebagai organisasi peserta pemilu di Kementerian Hukum dan HAM dan KPU. Dalam praktek politiknya kita tak bisa membedakan lagi ideologi masing masing. Semua parpol rasanya sama dan seragam. Tak heran jika caleg bisa enteng melompat dari partai berasas nasionalis ke partai Islam atau sebaliknya.
Pengusaha yang terjun ke politik juga memperlakukan partai sebagai layaknya perusahaan keluarga. Hary Tanoesoedibjo yang mendirikan dan pemilik Partai Perindo misalnya mengajak seluruh anggota sebagai calon anggota legislatif.
Hal yang sama juga dilakukan dengan pemilik parpol lain, seperti Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto.
Pemilik parpol mengkhianati kebebasan politik, kemerdekaan indvidu yang melandasi falsafah pemilihan langsung lewat aturan ambang batas pencapresan 20 persen (presidential threshold). “Ini peternakan oligarki,” ujar Rocky Gerung, satu satunya dari sedikit sarjana yang masih menjalankan fungsi intelektual publik di Indonesia saat ini.
(Dok. Hary Tanoesoedibjo dan keluarga setelah melakukan pencoblosan. Seumber: Perindo)
Pemimpin juga bukan dihasilkan dari rahim gerakan rakyat, tapi dari survei survei yang dipesan. Mulanya metode ilmiah yang dicangkokkan pada proses politik memang hanya alat untuk memahami apa kehendak warga.
Ia perangkat “terbatas” untuk merumuskan keadaan yang sangat terikat ruang (wilayah survei) dan waktu (masa survei dilakukan) dan lebih sebagai kebutuhan internal parpol, daripada kepentingan publik.
Load more