Politik
- tim tvonenews
(Suasana sidang paripurna DPR. Sumber: ANTARA)
Dalam sistem proporsional terbuka, persaingan merebut suara bahkan terjadi antara caleg dalam satu parpol. Dalam konteks ini selain kekuatan modal, popularitas adalah penentu kemenangan. Dan agar partai lolos ambang batas parlemen, secara instan, artis direkrut untuk menggenjot suara.
Penyanyi, model, presenter televisi, selebgram hingga pelawak yang sebagian sudah afkir di dunia hiburan, tapi masih dikenal publik, direkrut menjadi calon calon politisi.
Walhasil, Partai Amanat Nasional diplesetkan menjadi Partai Artis Nasional karena memajang lebih dari 17 selebriti pada daftar calegnya. Hal yang sama terjadi pada partai besar yang konon kaderisasi internal lebih baik: PDIP dan Gerindra.
Kualitas demokrasi bergantung dengan kualitas politisi. Kita tak melihat gagasan, ide, pikiran, program yang ditawarkan oleh calon calon wakil rakyat itu saat berhadapan dengan pemilih. Mereka cukup mengunggah video video pendek saat tengah joget joget atau kesibukan mencicipi aneka masakan.
Tak ada misalnya politisi yang terjun ke dusun dusun di pedalaman, menemui petani, nelayan, buruh, menjabarkan dengan detail program program alternatif untuk kesejahteraan sosial masyarakat yang tengah digagas parpolnya.
(Sejumlah anggota DPR melakukan swafoto. Sumber: ANTARA)
Ideologi parpol hanya tertulis indah di AD/ART untuk mendaftar sebagai organisasi peserta pemilu di Kementerian Hukum dan HAM dan KPU. Dalam praktek politiknya kita tak bisa membedakan lagi ideologi masing masing. Semua parpol rasanya sama dan seragam. Tak heran jika caleg bisa enteng melompat dari partai berasas nasionalis ke partai Islam atau sebaliknya.
Pengusaha yang terjun ke politik juga memperlakukan partai sebagai layaknya perusahaan keluarga. Hary Tanoesoedibjo yang mendirikan dan pemilik Partai Perindo misalnya mengajak seluruh anggota sebagai calon anggota legislatif.
Hal yang sama juga dilakukan dengan pemilik parpol lain, seperti Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto.
Pemilik parpol mengkhianati kebebasan politik, kemerdekaan indvidu yang melandasi falsafah pemilihan langsung lewat aturan ambang batas pencapresan 20 persen (presidential threshold). “Ini peternakan oligarki,” ujar Rocky Gerung, satu satunya dari sedikit sarjana yang masih menjalankan fungsi intelektual publik di Indonesia saat ini.
Load more