Ahli Psikologi Forensik Sebut Pelaku Ledakan SMAN 72 Bukan Hanya Pelaku, Tapi Korban Tiga Lapis Kekerasan
- tvOneNews
Jakarta, tvOnenews.com - Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel turut angkat bicara perihal insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara, yang menyebabkan banyak korban luka-luka.
Menurut Reza Indragiri, pelaku ledakan–yang kini disebut dengan Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH), tak bisa semata-mata dipandang sebagai pelaku kejahatan.
Ia menyebut remaja itu juga merupakan korban tiga lapis kekerasan yakni korban perundungan, korban infiltrasi ideologi ekstrem, dan korban pengasuhan yang gagal.
“Tanggal 8 November 2025 Kapolri menyebut peledakan di SMAN 72 berlatar perundungan. Dua hari kemudian pengamat terorisme, Ridlwan Habib, menganalisis bahwa ABH (Anak Berkonflik dengan Hukum) dimaksud, terendus masuk ke dalam grup media sosial terkait ideologi jahat. Lantas, 12 November, giliran Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, mendeskripsikan ABH tersebut sebagai anak dengan pengasuhan yang tidak adekuat,” ungkap Reza, Kamis (13/11/2025).
- Tangkapan Layar tvOne
Dari tiga pandangan itu, kata Reza, masyarakat seolah lupa bahwa status pelaku juga mengandung dimensi korban yang kompleks.
“Jika dirangkum, ketiga tokoh tersebut telah memberikan status korban ke si ABH. Rinciannya, dia adalah korban kekerasan, korban jaringan terorisme, serta korban penelantaran dan perlakuan salah,” tegasnya.
Namun Reza mengingatkan, penyematan status korban ini bukan sekadar wacana moral. Ada konsekuensi hukum dan tanggung jawab negara yang tidak bisa diabaikan.
“Pertama, karena si ABH berstatus pelaku sekaligus korban, negara wajib mendahulukan pemenuhan hak-haknya sebagai korban sebelum meminta pertanggungjawaban pidana,” jelasnya.
Kedua, lanjut Reza, pengadilan harus menjadikan status korban sebagai faktor yang meringankan hukuman.
“Hakim yang menyidangkan si ABH hendaknya tidak menihilkan kondisi korban tersebut. Sering kali hakim menutup mata terhadap realitas bahwa anak yang duduk di kursi terdakwa sesungguhnya telah bertahun-tahun menjadi sasaran perlakuan tidak baik,” ujarnya.
Poin ketiga, Reza menekankan bahwa perlindungan terhadap ABH bukan kemurahan hati negara, melainkan mandat undang-undang.
“Korban kekerasan, korban jaringan terorisme, serta korban penelantaran memperoleh perlindungan khusus. Bukan perlindungan biasa. Dan itu wajib diberikan segera, tanpa menunggu putusan hakim,” tegasnya.
Ia mengakui pandangan tersebut bisa bertentangan dengan emosi publik yang saat ini masih diliputi kemarahan dan duka.
“Tiga implikasi di atas boleh jadi berseberangan dengan mood khalayak saat ini. Pasca ledakan, masyarakat takut, sedih, bahkan marah. Tapi apa boleh buat; UU Sistem Peradilan Pidana Anak mewanti-wanti siapa pun untuk membersihkan hati dari perasaan-perasaan negatif ketika berhadapan dengan ABH,” ucapnya.
Menurut Reza, undang-undang secara tegas memerintahkan negara untuk tetap memandang ABH sebagai anak yang memiliki masa depan.
“Tugas kita adalah membersamai si ABH menuju masa depannya itu,” kata Reza.
Namun, di balik prinsip hukum dan moral itu, Reza tak menutup mata terhadap perasaan getir para korban.
“Silakan tanya murid-murid yang terkena ledakan dan keluarga mereka. Lapang dadakah mereka semua menyaksikan si pelaku peledakan mendapat tiga ‘layanan’ di atas? Satu orangtua yang saya tanya menjawab tegas, ‘Tidak!’ Pelik, ya," tutupnya. (rpi/muu)
Load more