Saham BBCA Anjlok Parah, Apakah Saatnya Investor Serok Murah?
- Istimewa
Jakarta, tvOnenews.com – Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), bank swasta terbesar di Indonesia yang dikuasai keluarga konglomerat Michael dan Robert Hartono, kembali menjadi sorotan. Dalam dua hari terakhir, harga saham BBCA terjun bebas akibat aksi jual besar-besaran investor asing dengan nilai mencapai triliunan rupiah.
Pada sesi pertama perdagangan Selasa (9/9/2025), saham BBCA anjlok 2,60% ke Rp7.500 per lembar, bahkan sempat menyentuh Rp7.475 yang menjadi level terendah dalam tiga bulan terakhir. Transaksi di pasar pagi ini mencapai Rp1,92 triliun, dengan net sell asing sebesar Rp625,9 miliar.
Koreksi hari ini melanjutkan tren kemarin, ketika saham BBCA longsor 3,75% ke Rp7.700 dengan nilai jual bersih asing mencapai Rp1,25 triliun. Dengan demikian, dalam waktu kurang dari dua hari, investor global sudah melepas saham BCA senilai lebih dari Rp1,87 triliun.
Sentimen Negatif Bayangi BBCA
Meski fundamental BCA masih dinilai solid, tekanan jual besar dari asing menunjukkan pasar sedang diliputi kekhawatiran. Sejumlah analis menyebut, aksi ini terkait ketidakpastian politik pasca-reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto, khususnya pergantian Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa.
Situasi politik yang penuh tanda tanya mendorong investor global melakukan strategi flight to safety—menjual saham-saham likuid seperti BBCA demi mengamankan posisi. Hal ini menegaskan bahwa sentimen jangka pendek sering kali lebih berpengaruh dibandingkan fundamental perusahaan.
“Pasar sedang menguji psikologi pelaku saham. Fundamental BCA tidak berubah, tapi ketidakpastian politik membuat asing keluar dulu,” ujar seorang analis pasar modal.
Analis Tetap Optimistis Jangka Panjang
Meski aksi jual asing memukul harga, pandangan jangka panjang terhadap saham BBCA tetap positif. Riset CLSA Sekuritas, misalnya, mempertahankan rekomendasi outperform dengan target harga ambisius di Rp12.100 per saham.
Optimisme ini didasarkan pada fundamental BCA yang kuat, mulai dari basis nasabah terbesar, kualitas kredit yang solid, hingga kemampuan menjaga pertumbuhan laba secara konsisten. Para analis menilai pelemahan saat ini hanyalah anomali sementara yang tidak mencerminkan nilai intrinsik perusahaan.
Load more