tvOnenews.com - Pasca berlangsungnya Putaran Kelima Intergovernmental Negotiating Committee on Plastic Pollution (INC-5) di Busan, Korea Selatan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI kembali menyoroti isu krusial terkait ancaman global sampah plastik.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menekankan bahwa isu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi plastik—baik di darat maupun laut—merupakan persoalan lingkungan yang saling berkaitan.
“Masalah ini muncul akibat pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan,” ujar Hanif Faisol dalam keterangannya pada Selasa (31/12/2024).
Mengutip data dari United Nations Environment Programme (UNEP), Hanif menyebutkan bahwa jika tidak ada upaya nyata, volume sampah plastik yang mencemari ekosistem akuatik berpotensi melonjak hampir tiga kali lipat pada 2040.
“Pada 2016, polusi plastik mencapai 9-14 juta ton, dan diproyeksikan naik menjadi 23-27 juta ton pada 2040,” jelasnya.
Pentingnya kolaborasi internasional terhadap isu ini diakui melalui Resolusi 5/14 United Nations Environment Assembly (UNEA) pada Maret 2022.
Resolusi tersebut memberikan mandat kepada UNEP untuk menyusun instrumen hukum internasional (International Legally Binding Instrument/ILBI) demi menghentikan polusi plastik secara global, termasuk di laut. Penyusunan instrumen ini ditargetkan rampung akhir 2024.
- Indonesia Aktif dalam Negosiasi INC
Hanif menjelaskan bahwa sejak awal, Indonesia telah berkontribusi aktif dalam negosiasi INC, termasuk pada INC-1 hingga INC-5. Delegasi Indonesia terus menyuarakan prinsip consensus, inklusivitas, dan Common but Differentiated Responsibilities (CBDR), yang menekankan kebutuhan unik setiap negara, khususnya negara kepulauan seperti Indonesia yang rentan terhadap dampak polusi plastik lintas batas.
“Indonesia memperjuangkan pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular dan mekanisme pembiayaan yang adil serta terprediksi untuk negara berkembang,” tambah Hanif.
Indonesia juga mengusulkan pendekatan National Action Plans (NAPs) yang sesuai kebutuhan nasional, penguatan tata kelola limbah plastik, dan konsumsi-produksi berkelanjutan.
Selain itu, Indonesia mendorong pembentukan mekanisme pembiayaan baru untuk mendukung negara berkembang dan negara kepulauan.
“Kami menyeimbangkan hak pembangunan (right to development) dan hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan,” tegas Hanif.
- Tantangan dan Komitmen Indonesia
Namun, negosiasi belum mencapai kata sepakat pada isu penting seperti pengaturan Primary Plastic Products and Chemicals, produksi plastik, dan mekanisme pembiayaan.
Perbedaan pandangan antara negara maju dan berkembang menjadi kendala besar, sehingga resolusi final harus ditunda hingga INC-5.2 pada 2025.
Meski demikian, Indonesia tetap berkomitmen menjadi bridge builder dalam perundingan ini dengan mengutamakan kepentingan nasional, terutama perlindungan wilayah negara kepulauan dari dampak polusi plastik lintas batas.
“Kami akan terus menjunjung prinsip inklusivitas dan semangat multilateralisme untuk mencapai solusi global yang konkret,” tutup Hanif. (aag)
Load more