Kasus Anak Bunuh Ayah dan Nenek, Pengamat Pendidikan Soroti Tuntutan Berlebihan Orang Tua ke Anak: Jika Tidak Ada Keseimbangan Dapat Memicu Tekanan Berbahaya
- kolase tim tvOnenews
tvOnenews.com - Hingga kini kasus anak bunuh ayah dan neneknya yang terjadi di salah satu perumahan, wilayah Lebak Bulus pada Sabtu (30/11/2024) sekitar pukul 01.00 WIB terus menjadi sorotan.
Kepala Seksi Humas Polres Metro Jakarta Selatan, AKP Nurma Dewi mengatakan bahwa pelaku mengaku sangat menyesal atas perbuatannya.
Bahkan, kepada polisi, pelaku sambil menangis mengaku ingin segera bertemu ibunya untuk meminta maaf.
"Dengan menangis, "Ibu, saya doakan ibu biar cepat sembuh. Saya ingin cepat ketemu, saya mau minta maaf"," ujar Nurma meniru perkataan pelaku, dikutip dari tempo.co Selasa (3/12/2024).
Sementara, Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Ade Rahmat Idnal mengungkap sifat asli pelaku yang merupakan anak yang sopan santun dan sangat penurut.
Selain itu, pelaku juga dikenal sebagai anak yang gemar melukis dan jarang bermain game online.
"Yang bersangkutan anak yang sopan santun dan penurut sama orang tua, jauh dari temperamental," ujar Ade.
Bahkan sempat beredar di Media Sosial (medsos) seseorang wanita yang mengaku merupakan ibu dari teman pelaku dan mengatakan bahwa MAS dipaksa belajar.
Ibu tersebut menduga MAS belajar keras bahkan hingga dini hari karena harus pintar seperti ayah dan ibunya.
Terbaru dikabarkan, bahwa pelaku yang usianya masih 14 tahun itu terkadang menjadi tempat curhat ibunya.
Semua tentu mencari tahu bagaimana bisa seorang anak bunuh ayah dan nenek serta melukai ibunya karena sejatinya kasih sayang dalam keluarga harusnya sangatlah besar.
Pengamat Pendidikan Dr. Dirgantara Wicaksono menilai kasus anak bunuh ayah dan nenek ini memiliki analisis penting yang mencakup banyak hal.
“Menurut hemat saya, pembunuhan orang tua oleh anak memiliki analisis penting yang mencakup aspek psikologis, sosiologis, dan model pendidikan yang diterapkan di rumah maupun sekolah,” ujarnya ketika dihubungi oleh tim tvOnenews.com pada Sabtu (8/12/2024).
Pria yang juga merupakan praktisi pendidikan ini kemudian mengatakan kasus anak bunuh orang tua sering melibatkan dinamika keluarga yang kompleks.
“Dalam artikel "Parents Who Get Killed and the Children Who Kill Them", Kathleen M. Heide mengidentifikasi bahwa parricide sering melibatkan pelaku berusia muda yang menghadapi dinamika keluarga yang kompleks,” katanya.
“Seperti tekanan emosional atau konflik berkepanjangan,” sambungnya.
Dirgantara kemudian menilai dalam kasus seperti yang terjadi pada MAS, pembunuhan orang tua biasanya melibatkan hubungan emosional yang rumit antara pelaku dan korban.
“Dimana pelaku sering merasa terjebak dalam situasi tanpa solusi yang jelas,” ujarnya.
Sementara secara psikologis, ia menduga, motif pembunuhan ini dapat dilatarbelakangi oleh gangguan emosional mendalam.
“Seperti akumulasi stres, frustrasi, atau masalah kontrol emosi yang tidak terdeteksi sebelumnya,” jelasnya.
Inilah yang menurut Dirgantara pentingnya deteksi dini terhadap kondisi mental anak dan pengelolaan emosi yang sehat dalam lingkungan keluarga.
“Dari perspektif sosiologis dan pendidikan, kasus ini mencerminkan potensi kegagalan dalam sistem pendukung belajar, katanya.
Maka meskipun belajar merupakan aktivitas positif, tuntutan berlebihan tanpa adanya keseimbangan dapat memicu tekanan berbahaya.
“Terutama pada remaja,” pesan Dirgantara.
Fenomena ini menurut Dirgantara menjadi peringatan keras bagi orang tua dan institusi pendidikan untuk memahami kebutuhan emosional anak secara menyeluruh.
“Tidak hanya berfokus pada prestasi akademik. Pendekatan yang lebih holistik diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan perkembangan intelektual anak secara bersamaan,” jelasnya.
Maka jika anak terlalu ditekan dan dipaksa belajar kesehatan mental akan terganggu.
“Hemat saya ada kesehatan mental anak bisa sangat terganggu jika ada tekanan luar biasa dalam pola belajar,” jelasnya.
Dirgantara yang kebetulan pernah satu sekolah dengan Almarhum (ayah) yang dibunuh oleh sang anak menilai ia memang pintar.
“Ya anaknya seperti ayahnya, yang rajin sekali belajar, dulu kala SMA ayahnya selalu mendapatkan peringkat di kelas IPA,” ujar Dirgantara.
“Sosok Almarhum ayahnya sangat baik dan santun ketika SMA,” sambungnya.
Sementara menurut Dirgantara, proses tekanan transformasi pedagogik yang terlalu berlebihan dari orang tua ke anak itulah yang bahaya.
“Dilakukan orang tua ke anak. Konsep pintar yang berkembang dibandingkan dengan kedua orangtuanya tanpa memperhatikan unsur bermain anak usia 14 thn,” jelasnya.
Hal ini karena anak harus melewati fase tumbuh kembang anak dengan tuntas.
“Kita tidak bisa melewati fase tumbuh kembang anak, mereka butuh ruang apresiasi kreasi anak,” tutup Dirgantara. (put)
Load more