- Istimewa
Jubir Komite Peralihan Aceh (KPA) Luar Negeri Kritik Keras Pernyataan Yusril Soal MoU Helsinki dan UU 24/1956
“MoU Helsinki adalah mutual understanding — bukan contractual agreement, tapi kekuatannya tidak bisa diabaikan. Ia menjadi dasar moral dan politik dari terbentuknya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” tegasnya.
Dalam Pasal 1.1.2 MoU, disebutkan bahwa wilayah Aceh meliputi batas-batas sebagaimana Provinsi NAD yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 1956. Ketentuan ini mengikat secara politis dan telah diratifikasi melalui peraturan perundang-undangan nasional.
“Jadi ketika Menko Polhukam mengatakan Perjanjian Helsinki tidak bisa dijadikan dasar, itu sama saja menihilkan dasar perdamaian. Apa yang terjadi sekarang adalah pembangkangan terhadap semangat jus post bellum — keadilan pascakonflik,” lanjut Umar.
Sebagai wilayah yang pernah menjadi kerajaan merdeka dan memiliki kontribusi besar bagi kemerdekaan Indonesia, Umar menyebut Aceh bukan sekadar provinsi administratif.
Jika hak-hak konstitusional Aceh terus dipinggirkan, rakyat punya hak untuk mengevaluasi ulang masa depannya dalam bingkai demokrasi dan damai.
“Kami tidak menuntut kemewahan. Kami menuntut keadilan yang setara, penghormatan terhadap sejarah, dan penegakan hukum yang adil. Jika semua itu diabaikan, maka rakyat Aceh berhak mempertimbangkan pilihan-pilihan lain, termasuk referendum, sebagai bagian dari ekspresi politik yang sah,” tutupnya.
KPA Luar Negeri menyerukan agar pemerintah pusat berhenti menggoyahkan fondasi yang telah dibangun melalui darah, diplomasi, dan kesabaran panjang rakyat Aceh.
“Keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditolak. Jangan cabik-cabik perdamaian yang sudah kami rawat. Kami hanya meminta satu: jangan perlakukan Aceh seperti anak tiri sejarah,” pungkas Umar.