- tim tvOne
Harvey Moeis Divonis 20 Tahun, Doa Sandra Dewi Terkabul? Kuasa Hukum: Menyalahi Kaidah
Jakarta, tvOnenews.com - Suami aktris tersohor Sandra Dewi, Harvey Moeis kembali menyita perhatian publik. Pasalnya, Harvey Moeis divonis 20 tahun penjara dari hukuman 6,5 tahun penjara.
Selain dapat vonis 20 tahun, Pejabat Humas PT DKI Jakarta, Sugeng Riyono, juga menyebut bahwa harta dan aset Harvey yang telah disita serta belum dikembalikan akan dirampas oleh negara.
Ironisnya, hal ini juga berlaku dengan aset milik istri Harvey, Sandra Dewi, yang sebelumnya telah disita.
Padahal, sebelumnya Harvey Moeis sendiri pernah meminta hakim untuk mengembalikan aset-aset sang istri.
"Apa pun yang telah disita dan masuk sebagai barang bukti dalam perkara ini, tentunya itu sebagai kalau dia tidak bisa mengganti akan disita, kecuali jika betul-betul sudah dirampas ya. Kalau sebagai uang pengganti, harta pribadi apa pun itu akan dilelang dan akan ditutupi sebagai uang pengganti," beber Sugeng pada Kamis (13/2/2025).
Sugeng menyebutkan, bial aset-aset Sandra terbukti tidak terkait dengan kasus korupsi Harvey, tentunya akan dikeluarkan dari barang bukti yang disita dan akan dirampas negara.
"Kalau memang itu tidak terkait, pasti akan dikeluarkan oleh majelis hakimnya barang bukti itu," ucap Sugeng dengan tegas.
Selain itu, keputusan ini ternyata mengingatkan warganet akan doa Sandra Dewi pada masa lalu.
Doa tersebut diungkit oleh akun X @/PelatihT1dur, yang memperlihatkan video Sandra saat menghadiri podcast TS Media.
Doa Sandra Dewi tersebut, "Tuhan, aku bilang, ambil aja semua yang kita punya deh, asal anakku baik-baik aja."
Sandra Dewi menilai, bahwa masih banyak hal yang lebih penting ketimbang kehidupan mereka yang saat itu bergelimang harta. Termasuk di antaranya adalah kesehatan dan kebaikan anak-anak mereka.
"Yang selama ini kita kejar, yang pengin ABC itu ternyata nggak ada gunanya kalau anak kita sampai kenapa-kenapa," ujar Sandra Dewi.
"Jadi aku sama Harvey juga banyak belajar, banyak hal banget yang perlu kita pikirin di dunia ini nggak cuma tentang ambisi kita aja, goal-nya kita aja, ternyata banyak hal," sambung Sandra Dewi.
Sementara, Kuasa hukum Harvey Moeis Junaedi Saibih bereaksi soal putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat vonis kliennya dalam kasus dugaan korupsi timah.
Dalam sidang putusan banding Kamis (13/2/2025), vonis Harvey diperberat dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun.
Dua terdakwa lain, yakni mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan pengusaha Helena Lim. Hakim menjatuhkan vonis penjara kepada Mochtar Riza 20 tahun penjara.
Sementara itu, Helena Lim vonisnya diperberat dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara dan dihukum membayar uang pengganti Rp 900 juta.
“Helena uang pengganti 900 juta. Barang yang disita melebihi nilainya, ini menyalahi kaidah hukum,” ujar Junaedi dilansir Jumat (14/2/2025).
Menurutnya, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menandakan prinsip hukum yang menyatakan negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan politis/pejabat.
“Telah wafat rule of Laws setelah rilisnya bocoran putusan Pengadilan Tinggi atas banding yang diajukan JPU terhadap putusan PN Jakarta Pusat,” tambahnya.
Junaedi menambahkan prinsip dan rasio hukum tidak boleh kalah oleh pertimbangan populisme yang membabi-buta.
“Mohon doanya agar Hukum dapat tegak kembali dan ratio legis gak boleh kalah oleh ratio populis apalagi akrobatik hukum atas penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan atas legalitas,” jelasnya.
Hingga kini pengadilan belum dapat membuktikan kebenaran dari klaim kerugian lingkungan yang dimasukan sebagai kerugian negara senilai Rp300 triliun, termasuk tidak ada temuan suap dan gratifikasi.
Oleh karena itu, Junaedi mempertanyakan pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat vonis Harvey dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun.
“Suap nggak ada, gratifikasi nggak ada. Kasus nggak ada suap, nggak ada kerugian aktual, apalagi kerugian BUMN bukan kerugian negara,” kata dia.
Selain itu, dia menanggapi dibebankannya denda sebesar denda 1 miliar subsider 1 tahun kurungan terhadap mantan Dirut PT Timah Mochtar Riza Pahlevi.
Junaedi berpendapat, pengenaan pidana tambahan atau denda (uang pengganti) seharusnya berdasarkan perhitungan faktual alias nilai buku, dimana dihitung atas dasar besaran yang dinikmati Riza selama proses kerja sama smelter berlangsung.
Junaedi mencatat, BPKP tidak pernah melakukan perhitungan secara mendalam mengenai hal tersebut. Terlebih perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tidak didasarkan atas suatu neraca laba/rugi.
“Yang dihitung hanyalah besaran jumlah pengeluaran PT Timah dalam kerja sama smelter tanpa pernah menghitung berapa besaran jumlah yang dihasilkan dari penjualan timah hasil kerja sama smelter,” ungkapnya.
Dalam laporan tahunan PT Timah, lanjut dia, secara sektoral dari kerja sama smelter membukukan keuntungan Rp233 miliar.
“Lalu darimana hitungan kerugian negara dihitungnya? Biar anak akuntansi semester 1 menjawab yang tahu cara membuat neraca laba/rugi,” ucap Junaedi. (aag)