Tradisi Syawalan di Kudus: Merayakan Lebaran Ketupat dengan Kearifan Lokal
- ANTARA
tvOnenews.com - Setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan, masyarakat Muslim di Indonesia merayakan Idul Fitri sebagai puncak kemenangan. Namun, di beberapa daerah, perayaan tidak berhenti di situ. Di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, terdapat tradisi unik yang dikenal sebagai Syawalan atau Lebaran Ketupat. Tradisi ini dilaksanakan seminggu setelah Idul Fitri dan menjadi momen penting yang sarat makna budaya dan spiritual.
Perayaan Syawalan sebagai bentuk rasa syukur warga setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, diwarnai dengan Parade Seribu Ketupat pada Senin.
Sebanyak 23 gunungan yang terdiri atas susunan ketupat yang totalnya 1.000-an buah dan ratusan lepat (jenis makanan dari ketan) diarak dari rumah kepala desa setempat sekitar pukul 07.00 WIB menuju Masjid Sunan Muria.
Selanjutnya dilakukan ritual ziarah ke Makam Sunan Muria, dilanjutkan dengan minum air dan cuci kaki serta tangan dengan air dari gentong peninggalan Sunan Muria dan dilanjutkan dengan penyerahan Kupat Gunung dari Ketua Yayasan Makam Sunan Muria kepada rombongan.
Dengan dipimpin oleh tokoh ulama setempat, ratusan warga yang ikut arak-arakan membacakan tahlil dan doa bersama, kemudian melakukan kirab ketupat dari masjid menuju Taman Ria Colo yang berjarak sekitar satu kilometer dari makam.
Makna dan Filosofi Lebaran Ketupat
Lebaran Ketupat di Kudus bukan sekadar perayaan tambahan setelah Idul Fitri. Tradisi ini memiliki makna mendalam sebagai penutup rangkaian puasa Syawal yang dilakukan selama enam hari setelah Idul Fitri. Ketupat, sebagai simbol utama, melambangkan kesucian dan pengakuan atas kesalahan. Dalam filosofi Jawa, "kupat" berasal dari kata "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan, sementara "lepet" berarti kesalahan yang harus disimpan rapat-rapat dan tidak disebarluaskan . Tradisi ini menjadi sarana untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat harmoni sosial di antara masyarakat.
Parade Sewu Kupat: Puncak Perayaan Syawalan
Salah satu acara paling ditunggu dalam tradisi Syawalan di Kudus adalah Parade Sewu Kupat atau Kirab Seribu Ketupat. Acara ini biasanya diselenggarakan di Desa Colo, Kecamatan Dawe, yang terletak di lereng Gunung Muria. Ribuan ketupat disusun menjadi gunungan dan diarak dari rumah kepala desa menuju Masjid Sunan Muria. Setelah itu, dilakukan ritual ziarah ke Makam Sunan Muria, dilanjutkan dengan minum air dan mencuci kaki serta tangan dengan air dari gentong peninggalan Sunan Muria . Prosesi ini diakhiri dengan kirab menuju Taman Ria Colo, di mana ketupat-ketupat tersebut dibagikan kepada masyarakat sebagai simbol berbagi berkah.
Tradisi Syawalan Lain di Kudus
Selain Parade Sewu Kupat, Kudus juga memiliki berbagai tradisi Syawalan lain yang tak kalah menarik:
Syawalan Sendang Jodo: Dilaksanakan di Desa Purworejo, Kecamatan Bae, tradisi ini melibatkan kirab gunungan ketupat dan lepet yang diarak menuju Sendang Jodo. Masyarakat percaya bahwa sendang ini memiliki nilai spiritual, dan siapa pun yang datang dengan niat baik akan dimudahkan jodohnya atau diberi awet muda .
Tradisi Bulusan: Di Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, terdapat tradisi unik yang melibatkan kirab gunungan hasil bumi dan jajanan pasar. Tradisi ini diakhiri dengan ritual di kolam yang dihuni bulus (kura-kura), yang diyakini membawa berkah bagi masyarakat setempat
Tradisi Lomban: Dilaksanakan di Desa Kesambi, Kecamatan Mejobo, tradisi ini melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan budaya dan keagamaan yang memperkuat solidaritas sosial.
Upaya Pelestarian
Pemerintah Kabupaten Kudus bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat berupaya melestarikan tradisi-tradisi Syawalan ini. Salah satu langkah konkret adalah rencana untuk mencatatkan Parade Sewu Kupat Muria ke dalam Rekor MURI sebagai upaya mengangkat budaya lokal ke tingkat nasional . Selain itu, tradisi ini juga diharapkan dapat menjadi daya tarik wisata budaya yang mampu menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Tradisi Syawalan di Kudus merupakan manifestasi kearifan lokal yang menggabungkan nilai-nilai spiritual, budaya, dan sosial. Melalui berbagai ritual seperti Parade Sewu Kupat, Syawalan Sendang Jodo, Tradisi Bulusan, dan Tradisi Lomban, masyarakat Kudus tidak hanya merayakan kemenangan setelah Ramadhan, tetapi juga mempererat tali silaturahmi dan melestarikan warisan budaya leluhur. Upaya pelestarian dan pengakuan tradisi ini menjadi penting agar generasi mendatang dapat terus mengenal dan menghargai kekayaan budaya yang dimiliki.
Bupati Kudus Sam'ani Intakoris di Kudus mengapresiasi penyelenggaraan Parade Sewu Kupat Muria yang terus digelar setiap tahun. "Kami juga berencana mencatatkan tradisi budaya ini ke Rekor MURI di tahun mendatang," ujarnya.
Menurut dia, Parade Sewu Kupat Muria ini sebagai atraksi wisata di Kabupaten Kudus yang bisa menarik perhatian wisatawan untuk berdatangan. Selain itu kegiatan kali ini juga sebagai bentuk pelestarian tradisi dan budaya di Kudus.
"Tradisi seribu ketupat yang dikemas dalam sebuah parade juga sebagai refleksi dan bentuk rasa syukur masyarakat," ujarnya. (ant/put)
Load more