Gaya Hidup Berburu Baju Bekas Berkelas: Aku Thrifting, Maka Aku Ada!
- ANTARA
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa turun tangan, sidak, dan menindak —semacam pengingat bahwa gaya hidup pun ada batasnya ketika mulai kebablasan.
Langkah ini bukan untuk mematikan gaya hidup, tapi demi merapikan ekosistem yang selama ini tumbuh terlalu cepat, terlalu bebas, hingga lupa batas.
Pemuja gaya
Di kota-kota besar, ada kelas manusia yang percaya bahwa gaya bukan sekadar pakaian, melainkan mata uang sosial. Dan thrifting, entah bagaimana, menjadi tempat ziarah baru para pemuja gaya ini.
Mereka datang tidak hanya untuk mencari jaket atau sepatu, tetapi untuk mencari cerita yang bisa disematkan pada hidup mereka. Sedikit romansa vintage. Sedikit aura Eropa. Sedikit kesan “aku beda, loh”.
Seperti kata Thorstein Veblen, ekonom dan sosiolog Amerika awal abad ke-20 yang memperkenalkan konsep conspicuous consumption, sebagian konsumsi memang memakai sebuah produk demi tampilan status, bukan fungsi.
Georg Simmel, pemikir Jerman yang gemar membedah perilaku sosial sehari-hari, sudah lebih dulu mengingatkan bahwa fashion adalah arena tarik-menarik antara ingin berbeda dan ingin tetap dianggap keren oleh kelompoknya.
Fenomena thrifting hari ini berdiri tepat di persimpangan itu.
Kita hidup di zaman saat label di kerah bisa lebih berpengaruh daripada isi kepala. Sepotong kaus kupluk (hoodie) bekas bisa menaikkan rasa percaya diri lebih cepat daripada membaca buku self-help sebanyak lima bab.
Maka, ketika toko loak menawarkan barang bermerek dengan harga sepertiga, mendadak banyak orang merasa menemukan jalan pintas menuju “kelas sosial” yang selama ini hanya digulir di gawai, bukan dimiliki.
Gaya hidup pun berubah. Yang dulu malu memakai barang rombengan, kini justru bangga mengaku sebagai penikmat barang bekas --tentu sambil memilih sudut pandang foto yang paling membuatnya terlihat nyentrik tapi dompet tetap aman pada saat yang sama.
Sebuah ironi yang cantik: membeli bekas dianggap aksi cerdas, tapi alasan sebenarnya kadang cuma ingin terlihat kaya tanpa mesti menjalani proses menjadi kaya.
Di titik ini, thrifting bukan lagi aktivitas hemat, melainkan sarana kolektif untuk terus memoles persona. Orang memburu jaket denim tertentu bukan karena butuh, tapi karena takut ketinggalan tren. Orang memborong kemeja bermerek bukan karena cocok, tapi karena lumayan buat foto gaya hari ini (OOTD).
Load more