Gaya Hidup Berburu Baju Bekas Berkelas: Aku Thrifting, Maka Aku Ada!
- ANTARA
Pakaian yang dulunya punya fungsi, kini berubah menjadi penopang panggung, dan panggung itu bernama media sosial.
Tak masalah, tentu. Hanya saja, ada kecenderungan baru yang makin terasa: penampilan menjadi ritual, gaya menjadi ibadah, dan citra menjadi dewa kecil yang harus terus diberi persembahan. Bahkan kalau persembahannya adalah baju bekas yang dulunya telah dibuang orang lain.
Tapi begitulah zaman ini. Kita hidup dalam rentang absurd antara ingin hemat dan ingin terlihat elit. Antara ingin jujur dan ingin tampil mulus. Thrifting hanya kebetulan berada di tengah-tengah dilema itu.
Fenomena ini membuat thrifting bukan lagi sekadar urusan alternatif belanja, melainkan panggung sosial yang memantulkan betapa manusia modern semakin lihai menegosiasikan citra. Setiap potong pakaian adalah narasi kecil tentang siapa kita ingin terlihat hari ini.
Nilai diri
Di tengah gemerlap baju bekas dan hiruk-pikuk tren, kita diingatkan satu hal sederhana bahwa nilai diri tidak pernah diukur dari apa yang menempel di tubuh kita.
Jaket mahal, kaus kupluk langka, sepatu bermerek, semuanya bisa dibeli, tapi itu tidak otomatis membuat siapa pun lebih berharga, lebih pintar, atau lebih berarti.
Thrifting boleh jadi cara cerdas mengekspresikan gaya, tapi identitas sejati tidak bisa dipinjam dari lemari orang lain.
Maka, mungkin saatnya sedikit menoleh ke dalam negeri. Produk lokal, yang sering luput dari sorotan, diam-diam terus berinovasi: bahan lebih nyaman, desain kreatif, harga bersahabat, dan cerita yang sarat dengan karakter.
Mereka bukan sekadar alternatif. Mereka adalah wujud nyata kemampuan dan kreativitas bangsa yang patut diapresiasi.
Cara paling sederhana untuk menghargai adalah dengan membeli, memakai, dan memberi ruang bagi karya anak bangsa untuk bersinar.
Tidak perlu dramatis, tidak perlu pamer; cukup biarkan pilihan itu berbicara. Sekali kita memberi perhatian dan apresiasi, industri kreatif lokal tumbuh, inovasi berkelanjutan, dan identitas kita sebagai konsumen yang bijak ikut terbentuk.
Pada akhirnya, gaya hidup sejati bukan soal label, harga, atau cerita lama yang melekat pada pakaian.
Load more