Warga Dadap Terancam Tak Punya Hak Tanah, Ombudsman Surati Nusron Wahid untuk Investigasi: Ada Ketimpangan
- tvOnenews.com/Akhyar
Jakarta, tvOnenews.com - Ombudsman Republik Indonesia berencana mengirim surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, guna meminta penyelidikan terkait persoalan hak atas tanah di Kampung Baru Dadap, Kabupaten Tangerang, Banten.
Hal itu dilakukan setelah Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengadakan pertemuan dengan ratusan warga Kampung Baru Dadap pada Rabu (28/5/2025).
Dalam pertemuan itu, warga menyampaikan bahwa sebagian dari mereka kesulitan memperoleh Surat Keterangan Tanah (SKT).
Permasalahan ini menjadi perhatian Ombudsman karena diduga mencerminkan ketimpangan pelayanan publik. Banyak warga yang telah tinggal di lokasi itu selama puluhan tahun belum memiliki kepastian hukum atas lahan yang mereka tempati.
"Dari hasil pertemuan ini, Ombudsman akan berkirim surat ke Menteri ATR/BPN untuk melakukan investigasi. Ombudsman mendukung Kementerian ATR/BPN untuk melakukan investigasi dengan sebaik-baiknya," ucap Yeka, seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (29/5/2025).
Warga mengaku sudah menempati Kampung Baru Dadap sejak 1975. Namun hingga kini mereka belum berhasil mengajukan permohonan SKT kepada kantor pertanahan setempat.
Padahal, berdasarkan penelusuran melalui platform BHUMI milik ATR/BPN, ditemukan sejumlah bidang tanah di kawasan itu yang telah memiliki status Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan berdasarkan Nomor Induk Bidang (NIB).
"Dari sisi pelayanan publik ini jelas timpang. Ada warga yang bisa memiliki SHM, tapi kenapa ada warga yang tidak bisa mengurus SKT," ujar Yeka.
Oleh karena itu, Yeka meminta semua pihak ikut mengawal persoalan ini agar masyarakat mendapatkan haknya secara adil.
Dengan adanya forum rembuk yang difasilitasi Ombudsman, Yeka berharap semua pihak dapat menemukan solusi terbaik.
"Ini adalah bentuk keseriusan Ombudsman RI dalam mengawasi pelayanan publik," tegasnya.
Kampung Baru Dadap dihuni sekitar 6.500 jiwa, mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Meski telah beberapa kali mengajukan pendaftaran tanah, mayoritas warga hingga kini belum memperoleh kejelasan hukum atas lahan tempat tinggal mereka.
Permasalahan memprihatinkan ini membutuhkan keterlibatan lembaga pengawas untuk mendorong transparansi dan keadilan dalam urusan pertanahan.
Load more