Gugat Perpu PUPN ke MK, Pengusaha Ini Ngaku 27 Tahun Dizalimi Negara: Bermula dari Sengkarut BLBI, Aset Ratusan Miliar Disita
- tvOnenews.com/Rilo Pambudi
Jakarta, tvOnenews.com - Mahkamah Konstitusi kembali melanjutkan persidangan perkara uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara (Perpu PUPN), pada Rabu (28/5/2025).
Permohonan ini diajukan oleh Andri Tedjadharma, pemegang saham Bank Centris Internasional (BCI), yang menggugat keberlakuan regulasi tersebut melalui Perkara Nomor 128/PUU-XXII/2024.
Di hadapan majelis hakim, Andri menyampaikan bahwa pengajuan uji materi ini bukan untuk mencari kesalahan pihak manapun, melainkan demi memperjuangkan kebenaran secara objektif dan berdasarkan bukti yang sah.
"Saya, sebagai Pemohon uji materi hari ini menyatakan bahwa prinsip dasar saya adalah tidak mencari kesalahan dan tidak menyalahkan siapapun. Saya hanya mencari dan mengemukakan kebenaran yang 'an sich' benar, yang diakui semua pihak berdasarkan dasar dan bukti yang tidak terbantahkan," ujar Andri.
Andri juga menekankan bahwa proses hukum yang ditempuh merupakan bentuk kepeduliannya terhadap kepastian hukum.
Oleh karena itu, oa berharap semua pihak melihat perkara ini sebagai perjuangan bersama demi keadilan.
"Tidak ada yang menjadi lawan, semuanya adalah kawan sebangsa setanah air. Jadi tidak ada yang menang dan kalah. Semuanya adalah pemenang karena telah memenangkan kebenaran itu sendiri," lanjutnya.
Ia menuturkan bahwa selama hampir tiga dekade, dirinya merasa dirugikan oleh penerapan aturan yang menurutnya bertentangan dengan konstitusi.
Karena itu, pengujian ini dinilai penting sebagai jalan untuk membenahi sistem hukum yang ada.
"Kalau kita sudah berupaya maksimal dan tidak juga menemukan jalan keluar, maka bisa jadi bukan orang atau lembaga yang menzolimi, tapi undang-undang yang dipakai memang bermasalah," kata Andri.
Dengan penuh keyakinan, Andri berharap para hakim konstitusi akan mempertimbangkan perkara ini secara adil dan berpihak pada nilai-nilai keadilan universal.
"Saya yakin dan percaya bahwa Yang Mulia para Hakim akan berpikir jernih karena datang dari hati yang bersih dan mengerti perasaan orang yang dizalimi selama 27 tahun," pungkasnya.
Sebagai informasi, Andri Tedjadharma sebagai pemegang saham Bank Centris Internasional ditetapkan sebagai penanggung utang pada negara menurut pendapat PUPN, sehingga sejumlah asetnya yang senilai lebih dari Rp300 miliar kemudian disita oleh Satgas BLBI.
Padahal,dikatakan bahwa Bank Centris Internasional tidak pernah menerima uang dari Bank Indonesia sebagai pemegang saham yang mengikuti program penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
- MK
Asas Kepastian dan Proses Hukum
Dr. Maruarar Siahaan selaku Saksi Ahli yang dihadirkan Pemohon, dalam keterangannya menegaskan pentingnya prinsip due process of law dalam penanganan perkara piutang negara.
Ia menyebut bahwa keadilan harus berangkat dari kepastian hukum, bukan sekadar prosedur.
Maruarar mengulas hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ditujukan ke Bank Centris Internasional.
Audit tersebut menunjukkan adanya dua nomor rekening berbeda atas nama BCI, yang mengindikasikan bahwa dana BLBI tidak ditransfer ke rekening yang sebenarnya milik BCI.
“Dari persoalan ini dapat dilihat bahwa tidak boleh ada perampasan tanpa due process of law. Artinya, memberikan kesempatan untuk mengemukakan dasar hukum dan memberikan bukti serta proses ini harus dilakukan secara adil sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 28H UUD 1945,” tegas Maruarar.
Sementara itu, Nindyo Pramono, saksi lain yang dihadirkan Pemohon, menyoroti bahwa tidak sah jika seorang pemegang saham dibebani tanggung jawab piutang negara tanpa pernah menandatangani dokumen hukum seperti PKPS, MSAA, MRNIA, APU, maupun personal guarantee.
"Maka jika pemegang saham tersebut tetap akan dimintai pertanggungjawaban untuk membayar utang, denda, dan bunga, maka kepada pemegang saham harus dilakukan gugatan PMH terlebih dahulu melalui pengadilan... tidak dapat ditetapkan secara sepihak sebagai penanggung utang,” jelas Nindyo.
Permintaan Hentikan Tindakan PUPN
Andri sebagai Pemohon sebelumnya menggugat keabsahan Surat Keputusan PUPN DKI Jakarta yang menetapkan jumlah piutang negara atas namanya senilai Rp897,6 miliar belum termasuk biaya administrasi yang mencapai 1% hingga 10% tergantung waktu pelunasan.
Penetapan tersebut bersumber dari surat Menteri Keuangan yang menyerahkan pengelolaan piutang kepada PUPN, berdasarkan temuan BPK tahun 2002–2003.
Pemohon menilai langkah itu cacat hukum karena tidak memenuhi prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Perppu 49/1960.
Lebih lanjut, Andri menilai kewenangan PUPN yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) terlalu luas, bahkan cenderung membuka celah tindakan sepihak yang berisiko melanggar hak konstitusional warga negara.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK memerintahkan PUPN menghentikan seluruh proses penyitaan dan pelelangan terhadap aset miliknya dan sang istri. Ia juga memohon agar MK menyatakan Perppu 49/1960 bertentangan dengan UUD 1945, dan mendorong DPR serta Pemerintah segera merancang regulasi baru yang lebih adil.
Pemohon turut meminta agar segala bentuk tindakan PUPN—mulai dari penetapan utang, surat paksa, hingga eksekusi lelang—dinyatakan tidak sah dan dihentikan setelah putusan Mahkamah dibacakan.
Respons Ketua PUPN
Menanggapi hal ini, Ketua PUPN Pusat, Rionald Silaban, menyatakan bahwa lembaganya bertindak berdasarkan mandat undang-undang. Ia menjelaskan bahwa PUPN berwenang mengelola piutang negara yang diserahkan oleh kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah.
Dalam praktiknya, lanjut Rionald, PUPN memiliki otoritas untuk menerbitkan berbagai dokumen resmi, mulai dari penetapan piutang hingga perintah penyitaan dan pelelangan.
“Peran PUPN dalam mengurus piutang negara berdasarkan UU PUPN telah diperkuat oleh banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia, di antaranya Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 41A ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, dan PP Nomor 28 Tahun 2002 tentang Pengurusan Piutang Negara oleh Panitia Urusan Piutang Negara,” jelas Rionald.
Perkara ini menjadi penting karena tidak hanya menyangkut satu individu, melainkan mencerminkan persoalan struktural dalam sistem pengelolaan piutang negara.
Proses uji materi di MK membuka ruang diskusi publik yang lebih luas tentang batasan kewenangan lembaga negara dan perlindungan hak konstitusional warga.
Hasil putusan MK nanti akan menjadi preseden penting dalam mengawal keadilan hukum dan kepastian hak warga negara, khususnya dalam perkara perdata terkait piutang negara yang potensial bersinggungan dengan hak milik individu.
Persidangan keempat ini dijadwalkan menghadirkan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pihak terkait dari PUPN, serta saksi dan ahli dari pihak Pemohon.
Namun, pihak DPR tidak hadir dalam sidang yang menjadi salah satu fase krusial dalam pengujian konstitusionalitas Perpu yang dinilai tidak lagi sesuai dengan semangat UUD 1945.
Di akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo selaku Ketua Panel menyampaikan bahwa sidang akan dilanjutkan lagi pada Selasa, 17 Juni 2025, pukul 10.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan keterangan ahli dari pihak negara. (rpi)
Load more