MK Tolak Uji Materi Redenominasi Rupiah dari Rp1.000 jadi Rp1, Permohonan Zico Leonard Dinilai Kabur: Tidak Relevan!
- istimewa
Jakarta, tvOnenews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Permohonan itu diajukan oleh advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Zico mengajukan permohonan agar MK menyederhanakan nominal mata uang rupiah. Salah satu permintaannya adalah mengubah nilai pecahan Rp1.000 menjadi Rp1, atau yang umum dikenal sebagai redenominasi rupiah.
Namun, Mahkamah menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima karena dianggap kabur atau obscuur libel.
“Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 23/PUU-XXIII/2025 di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa sistematika permohonan yang diajukan Zico tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara.
Mahkamah menilai bahwa isi petitum dalam permohonan tersebut tidak lazim dan bertentangan satu sama lain. Hal ini membuat substansi permohonan menjadi tidak jelas atau kabur.
Zico dalam petitumnya meminta agar nominal rupiah disesuaikan, seperti Rp1.000 menjadi Rp1 dan Rp100 menjadi 10 sen. Namun, permintaan ini dinilai tidak menjelaskan bagaimana konversi akan berlaku terhadap pecahan lain seperti Rp2.000, Rp5.000, hingga Rp100.000.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo (tersebut), karena permohonan a quo tidak jelas atau kabur maka terhadap kedudukan hukum pemohon, pokok permohonan, dan hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya,” ujar Saldi.
Dalam sidang sebelumnya pada 22 April 2025, kuasa hukum Zico, Putu Surya Permana Putra, menilai keberadaan banyak angka nol dalam mata uang rupiah sebagai hal yang tidak efisien. Ia mengacu pada praktik beberapa negara lain yang sudah memangkas nol dari mata uang mereka sebagai simbol kestabilan ekonomi.
“Banyaknya angka nol yang terdapat dalam mata uang rupiah oleh Pemohon dinilai sebagai hal yang tidak efisien, mengingat banyak negara-negara di luar negeri yang memangkas angka nol dalam mata uang dan sekaligus menandakan betapa stabilnya perekonomian dalam negara tersebut,” ucapnya.
Ia juga menyebut bahwa banyaknya angka nol dalam rupiah berisiko menimbulkan masalah kesehatan, seperti gangguan penglihatan akibat kelelahan mata dalam menghitung nilai uang.
“Yang disebabkan karena kelelahan visual dan ketegangan otot mata sebagai akibat dari angka-angka nol yang banyak tersebut pada penglihatan Pemohon,” tambah Putu.
Zico mengaku menyadari hal itu setelah berkunjung ke Singapura yang mata uangnya lebih sederhana dan tidak banyak mengandung nol. Ia menilai hal itu mempermudah perhitungan serta transaksi keuangan.
Saat menggunakan rupiah dalam berbagai transaksi, ia merasa harus lebih teliti memperhatikan jumlah nol agar tidak salah hitung, yang menurutnya merepotkan.
Dalam perkara ini, Zico menggugat Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Mata Uang. Ia meminta pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan konstitusi jika tidak dimaknai bahwa nilai nominal rupiah perlu dikonversi, dengan rasio Rp1.000 menjadi Rp1 dan Rp100 menjadi 10 sen.
Putusan MK ini menegaskan bahwa pengajuan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan harus disusun dengan argumentasi hukum yang sistematis, logis, dan relevan.
Tanpa kejelasan dalam petitum dan dasar hukum yang kuat, permohonan akan sulit dikabulkan, meskipun ide yang diangkat bernilai penting bagi diskursus publik. (ant/rpi)
Load more