RI Kena Tarif 32 Persen dari Trump, Airlangga Justru Sebut Ada Peluang Besar di Pasar AS
- tvOnenews.com/Abdul Gani Siregar
Jakarta, tvOnenews.com – Pemerintah Indonesia menanggapi secara hati-hati namun penuh optimisme terhadap kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa meski Indonesia dikenakan tarif hingga 32 persen, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia di pasar AS.
“Kebijakan yang dituangkan dalam International Emergency Economy Power Act dan juga National Emergency Act ini, mulai kemarin tanggal 5 April, Amerika menerapkan 10 persen dan mulai tanggal 9 mendatang yang hanya tiga hari dari sekarang ada tambahan resiprokal di mana Indonesia dikenakan 32 persen,” kata Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025).
Airlangga menyampaikan bahwa sektor utama yang terkena dampak langsung adalah makanan dan tekstil—dua komoditas ekspor andalan Indonesia. Namun ia menekankan bahwa pemerintah tidak melihat kondisi ini hanya sebagai tantangan, melainkan juga peluang.
“Market-nya itu besar di Amerika,” ujarnya, menyiratkan potensi ekspor yang masih bisa digali.
Pemerintah Indonesia juga mencermati posisi Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya. Menurut Airlangga, tarif yang dikenakan kepada negara seperti Vietnam, Kamboja, dan Thailand justru lebih tinggi. Sementara Malaysia, Filipina, dan Singapura berada di bawah Indonesia.
“Kompetitor kita di sektor ini apakah itu China, Bangladesh, Vietnam, Kamboja itu bea masuknya di atas kita. Jadi itu juga menjadi pertimbangan shifting produk itu juga kita perhatikan,” tambahnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah memilih pendekatan diplomatik. Menurut Airlangga, Indonesia tidak akan melakukan retaliasi atau pembalasan tarif seperti negara-negara lain, melainkan mengajukan proposal konkret ke Amerika Serikat.
“Vietnam sudah menurunkan semua tarifnya ke 0, kemudian Malaysia juga akan mengambil jalur negosiasi demikian pula Kamboja dan Thailand. Jadi kita mengambil jalur yang sama,” jelas Airlangga.
Salah satu strategi yang dipilih adalah dengan mendorong revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang ditandatangani sejak 1996. Menurut Airlangga, banyak isu dalam perjanjian tersebut sudah tidak relevan dan perlu diperbarui.
“Kita akan mendorong berbagai kebijakan itu masuk dalam TIFA,” tegasnya.
Airlangga juga menambahkan bahwa Indonesia siap meningkatkan impor dari AS dalam bentuk produk-produk strategis seperti gandum, kapas, migas, dan komponen industri.
Hal ini bertujuan menurunkan defisit neraca dagang Indonesia-AS yang saat ini mencapai 18 miliar dolar AS.
“Bagaimana delta daripada import ekspor kita yang bisa sampai 18 billion dolar diisi dengan produk-produk yang kita import termasuk gandum, cotton bahkan juga salah satunya adalah produk migas,” paparnya.
Meski diterpa tarif tinggi, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa pendekatan rasional dan peluang strategis tetap menjadi pegangan utama. Dengan pendekatan negosiasi, diplomasi ekonomi, dan pemanfaatan celah pasar AS, Indonesia bersiap membalik tantangan menjadi peluang di tengah guncangan perang dagang global. (agr)
Load more