ADVERTISEMENT
Advertnative
Jakarta, tvOnenews.com - Partai Buruh bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek), mengecam praktik hubungan kerja yang eksploitatif di PT Pos Indonesia (Persero) atau PosIND.
Pasalnya, BUMN Pos Indonesia dianggap sangat abai terhadap belasan ribu karyawan dengan status kemitraan atau "Mitra Pos".
Presiden KSPI dan Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa sistem kerja mitra yang diberlakukan PT Pos Indonesia itu melanggar hukum.
Dalam konferensi pers yang juga diikuti oleh Serikat Pekerja Mitra Pos Indonesia (SPMPI) secara daring, Senin (24/3/2025), Said Iqbal bahkan tak segan menyebutnya sebagai bentuk perbudakan di era modern.
“Mereka tidak bekerja lewat aplikasi. Mereka bekerja langsung di kantor PT Pos wilayah setempat, memakai seragam resmi, mengerjakan pekerjaan yang sama dengan karyawan tetap PT Pos. Ini jelas hubungan kerja langsung. Tapi status mereka disebut mitra, tanpa hak-hak dasar sebagai pekerja. Ini pelanggaran yang orisinal, dan sangat serius,” kata Said Iqbal, dikutip Selasa (25/5/2025).
Lebih lanjut, Said Iqbal mengatakan bahwa hubungan kerja antara mitra pos dan PT Pos Indonesia melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menegaskan bahwa jika ada perintah kerja, upah, dan pengawasan langsung, maka itu adalah hubungan kerja formal.
KSPI menemukan 11 ribu sampai 15 ribu pekerja mitra di PosIND yang tidak memiliki kepastian kerja.
Bahkan, kontrak kerja mereka sering kali tidak diperpanjang dengan alasan yang jelas.
Selain itu, upah para mitra jauh dari layak lantaran mereka, baik juru antar maupun mitra yang bertugas di loket, hanya dibayar per paket dan bukan berdasarkan upah minimum.
“Sebelah kanan karyawan tetap PT Pos dengan gaji sesuai UMK. Sebelah kiri mitra pos dibayar per paket. Ini nyata-nyata penindasan yang dilegalkan oleh negara,” tegas Iqbal.
Menurutnya, banyak pekerja mitra yang menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Kabupaten/Kota (UMK), sementara perusahaan mendapatkan keuntungan dari sistem bagi hasil yang timpang dan lebih menguntungkan korporasi.
Said membeberkan, jam kerja para mitra juga dinilai sangat tidak manusiawi.
Misalnya, Mitra Oranger Loket diharuskan bekerja minimal 200 jam per bulan. Bila target tak tercapai, dikenakan denda Rp100 per menit.
Bahkan, Mitra Oranger Antaran kerap bekerja lebih dari 11 jam sehari tanpa upah lembur, dan tetap dipaksa masuk di hari libur.
“Ini bukan lagi kemitraan, ini adalah perbudakan modern,” ujarnya.
Lebih lanjut, Said Iqbal juga menyoroti tidak adanya pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada mitra pos.
“THR itu hak pekerja. Tapi banyak mitra tidak pernah menerima THR sama sekali. Bahkan ada yang hanya menerima Rp50.000. Ini bukan hanya pelanggaran, ini penghinaan terhadap martabat buruh,” tegasnya.
KSPI akan segera meminta audiensi dengan Menteri BUMN Erick Thohir untuk memperbaiki sistem hubungan kerja di PT Pos Indonesia.
Tidak boleh ada lagi pekerja yang diberi status “mitra” padahal bekerja seperti karyawan tetap.
KSPI menuntut agar para mitra diangkat dengan status yang jelas, baik kontrak maupun tetap, dengan upah sesuai minimum, jam kerja maksimal 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, upah lembur bila melebihi jam kerja, dan tidak ada potongan upah sewenang-wenang.
“Kami akan melaporkan hal ini langsung ke Presiden Prabowo Subianto bila tidak ada langkah konkret dari Kementerian BUMN."
"Dan pasca Lebaran, KSPI akan memimpin pemogokan nasional besar-besaran terhadap PT Pos Indonesia, melibatkan puluhan ribu pekerja mitra pos di seluruh Indonesia,” tegas Iqbal.
Salah satu Pengurus DPP Serikat Pekerja Mitra Pos Indonesia (SPMPI), Dede, juga mengungkapkan kesedihannya terkait sistem kerja di PosIND.
Ia mengungkap, apa yang dirasakannya bersama ribuan karyawan mitra lain selama bertahun-tahun ini dirasa tidak adil.
"Persoalan di Kantor Pos ini sudah bertahun-tahun, seolah-olah mereka itu legal mempekerjakan pekerjanya dengan status mitra dengan bayaran tidak jelas dan kewajiban seperti BPJS dan BPJSTK tidak didaftarkan," keluh Dede.
Dirinya mengaku, PT Pos Indonesia memang memberikan bonus hari raya (BHR).
Namun, besaran nominal dan dasar penghitungannya dinilai tidak layak dan kurang transparan.
Sebab, tak sedikit para pekerja Pos yang hanya mendapat BHR dengan nominal puluhan ribu rupiah saja.
"Sempat kawan-kawan kemarin mendapatkan BHR, tapi hitungannya juga tidak jelas, dipotong denda segala macam, dendanya pun tidak jelas bagaimana, bahkan ada yang hanya dapat Rp50.000. Jelang lebaran lima puluh ribu itu saya kira keterlaluan," terangnya.
Di sisi lain, Presiden Federasi Serikat Pekerja Aspek Indonesia, Abdul Gofur, mendesak agar PT Pos Indonesia untuk lebih memanusiakan karyawannya.
Minimal, mereka diberikan kepastian kerja dengan diangkat menjadi karyawan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) agar lebih mendapatkan kepastian.
"Kami minta PT Pos Indonesia manajemen dan direksinya mengubah status kerja teman-teman kemitraan menjadi PKWT dimana ada yang namanya hak-hak normatif disitu yang pertama jam kerja yang normal, layak, dan manusiawi," ujar Gofur, dilansir Selasa (25/3/2025).
Gofur menambahkan, sistem pengupahan bagi pekerja mitra PT Pos Indonesia juga dinilai tidak transparan.
Pasalnya, kinerja mereka hanya dihargai sebesar Rp2.300 per paket hantaran dan tidak pernah mendapatkan jaminan apapun, termasuk BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan hak cuti.
Padahal, mereka diminta kerja kejar target jam kerja 200 jam per bulan.
"Padahal kerja-kerja mereka itu sangat rentan, sangat berisiko di jalan, tapi PT Pos Indonesia tidak menjamin, tidak melindungi pekerjanya," imbuh Gofur.
Sampai berita ini tayang, pihak PT Pos Indonesia (PosIND) masih belum memberikan respons atas apa yang diungkap KSPI, Partai Buruh, dan Serikat Pekerja Mitra Pos Indonesia (SPMPI). (rpi)
Load more