Jakarta, tvOnenews.com - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang pernah berjaya sebagai salah satu produsen tekstil terbesar di Asia Tenggara, resmi menghentikan operasionalnya pada 1 Maret 2025.
Suasana haru menyelimuti pabrik Sritex di Sukoharjo. Dalam beberapa video TikTok yang viral, ribuan karyawan terlihat berkumpul di halaman pabrik dengan seragam biru kebanggaan mereka, diiringi rinai gerimis yang menambah nuansa kesedihan.
Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada seluruh karyawan yang selama ini menjadi tulang punggung perusahaan.
Di balik keharuan itu, muncul tanda tanya besar mengenai peran pemerintah dalam menyelamatkan industri lokal dan melindungi hak-hak pekerja. Kejatuhan Sritex menjadi cermin rapuhnya sektor manufaktur di Indonesia di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Awal Mula Masalah Keuangan
Masalah keuangan Sritex mulai mencuat ketika PT Indo Bharat Rayon mengajukan gugatan kepailitan akibat ketidakmampuan Sritex melunasi utangnya.
Pada 21 Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan Sritex serta tiga entitas lainnya dalam keadaan pailit.
Putusan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung pada 18 Desember 2024, menegaskan kebangkrutan Sritex secara hukum.
Putusan Pailit dan Dampaknya
Putusan pailit memaksa Sritex untuk menghentikan seluruh operasionalnya mulai 1 Maret 2025.
12.000 karyawan terpaksa di-PHK, termasuk dari tiga anak usaha Sritex: PT Primayudha Boyolali, PT Sinar Pantja Jaya, dan PT Bitratex Semarang.
Proses PHK massal dimulai pada 26 Februari 2025, dengan pengumuman dari tim kurator sebagai langkah awal untuk pencairan hak-hak karyawan.
Proses PHK Massal dan Hak Karyawan
Ribuan karyawan menerima surat PHK dan mengurus hak-hak mereka, termasuk pesangon, gaji yang tertunda, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Proses pencairan hak-hak karyawan masih menunggu hasil likuidasi aset perusahaan, sementara kebutuhan hidup terus berjalan.
Load more