Jakarta, tvOnenews.com - Hampir sebelas bulan berperang dengan Hamas Palestina, ekonomi Israel kian tertekan seiring dengan rencana pemimpin negara tersebut untuk lanjut melancarkan serangan di Gaza, sekaligus memberi sinyal akan berlanjutnya konflik.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mencoba menutupi kenyataan dengan mengatakan bahwa dampak ekonomi yang dialami hanya bersifat sementara. Namun, perang Israel - Palestina bukan saja telah memukul ribuan bisnis kecil tapi juga mengancam kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi Israel yang selama ini dianggap sangat kuat.
Di tengah keterpurukan ekonomi akibat perang, sejumlah ekonom menilai langkah terbaik bagi Israel saat ini adalah menghentikan perang dan mengumumkan gencana senjata.
"Ekonomi saat ini berada dalam ketidakpastian besar, dan sangat tergantung pada kondisi keamanan, seberapa lama perang akan berlangsung, bagaimana intensitas ke depan, dan juga bagaimana potensi ekskalasi lebih lanjut," kata Karnit Flug, mantan Kepala Bank Sentral Israel yang saat ini menjadi Wakil Presiden di lembaga "think tank" Israel Democracy Institute.
Perang di Gaza dan serangan rutin dari militan Hizbullah di Libanon juga telah memaksa puluhan ribu warga pindah dari rumahnya yang berada dekat dengan wilayah konflik di bagian Utara dan Selatan Isreal.
Bukan hanya di Israel, perang sejak akhir 2023 lalu, telah menimbulkan dampak besar terhadap perekonomian Gaza yang sebelumnya telah terpuruk. Bahkan, sebanyak 90 persen warga Gaza telah mengungsi dan membuat mayoritas warga kehilangan pekerjaan.
Seluruh bank yang berada di wilayah Gaza bahkan telah tutup. Perang yang berkepanjangan telah membunuh leibh dari 40 ribu warga, menurut catatan petugas departemen kesehatan Palestina.
Berkepanjangan
Berbeda dari perang - perang sebelumnya dimana ekonomi Israel bisa pulih dalam waktu singkat, konflik Israel - Palestina kali ini telah menimbulkan dampak yang lebih dalam. Bukan hanya biaya perbaikan kerusakan akibat perang yang membengkak, biaya kompensasi korban dan tentara cadangan, hingga anggaran militer juga melonjak.
Sementara itu, dampak perang serta meningkatnya ekskalasi konflik dengan Hizbullah juga telah berdampak pada sektor pariwisata. Meski pariwisata bukanlah penggerak ekonomi Israel, dampaknya cukup dirasakan oleh puluhan ribu pekerja dan usaha kecil terkait.
"Bagian terberatnya adalah kita tidak tahu kapan perang akan berakhir," kata pemandu wisata Daniel Jacob yang mengaku saat ini keluarganya hidup dari tabungan. "Kami perlu menghentikan perang ini sebelum akhir tahun. Jika berlanjut hingga setengah tahun lalu, saya sungguh tidak tahu kapan kami bisa bertahan."
Jacob (45 tahun) yang pada April 2024 baru saja kembali dari wajib militer selama enam sebagai tentara cadangan, menemukan bisnisnya telah terpuruk saat dia kembali. Dia terpaksa menutup perusahaan wisata yang telah dikembangkannya dalam dua dekade terakhir.
Saat ini, dia mengaku satu - satunya pendapatannya hanya berasal dari sumbangan bantuan dari pemerintah, yang hanya separuh dari penghasilan bulanannya saat sebelum terjadinya perang.
Sementara pedagang barang antik di Haifa, Meir Sabaq mengaku bisnis saat ini jauh lebih buruk daripada kondisi pada saat pandemi Covid-19. Akibat perang dan anjloknya kunjungan wisata, dia mengaku tokonya hampir tidak mendapat pengunjung setiap harinya.
Pada hari kerja, pelabuhan Haifa yang biasanya ramai dan merupakan hub utama dari aktivitas ekspor impir Israel sebenarnya masih tetap ramai dengan kapal kontainer.
Dengan ancaman pemberontak Houti di Yaman terhadap kapal - kapal yang melintas melalui terusan Suez, banyak kapal kontainer yang berhenti menggunakan pelabuhan Israel. Namun, data menunjukkan terdapat penurunan 16 persen pelayaran di pelabuhan Israel pada Semester I-2024 dibandingkan posisi tahun sebelumnya.
Gencatan Senjata
Sejak dimulainya konflik Israel - Palestina pada 7 Oktober 2023 lalu, berbagai upaya gencatan senjata tampaknya tidak membuahkan hasil. Bahkan ekskalasi perang semakin meluas, setelah Iran dan Hizbullah mengancam akan membalas atas terbunuhnya pimpinan mereka.
Kekhawatiran terhadap meningkatnya ekskalasi perang ini telah membuat banyak maskapai utama dunia, termasuk Delta, United dan Lufthansa, membatalkan penerbangan menuju dan dari Israel.
Ekonom Israel Jacob Sheinin yang berpengalaman memberi saran terhadap pemerintah Israel, mengatakan bahwa biaya perang yang terjadi saat ini sudah mencapai 120 miliar dolar AS
atau sekitar Rp1.870 triliun, setara dengan 20 persen PDB Israel.
Diantara 38 negara anggota OECD, ekonomi Israel mengalami perlambatan terbesar pada periode April - Juni 2024. Ekonomi Israel yang sebelumnya diperkirkaan akan tumbuh 3 persen di tahun 2024, akhirnya direvisi. Bank Sentral Israel memperkirakan negara itu hanya bisa tumbuh 1,5 persen di 2024, dengan asumsi perang bisa berakhir di akhir tahun.
"Dalam pandangan kami, konflik di Gaza akan berlangsung hingga tahun 2025," sebut lembaga pemeringkat Fitch Rating saat menurunkan peringkat utang Israel untuk pertama kalinya. "Tambahan belanja militer, kerusakan infrastruktur dan dampak pemburukan bagi aktivitas ekonomi dan investasi."
Sinyal yang juga mengkhawatikan, Kementerian Keuangan Israel bulan ini menyebutkan bahwa defisit anggaran negara tersebut telah melonjak ke level 8 persen dari PDB dalam 12 bulan terakhir. Jumlah ini jauh melampaui perkiraan sebelumnya di 6,6 persen, dan juga realisasi defisit di 2023 yang hany4 persen dari PDB.
Penurunan peringkat Israel dan naiknya defisit telah menambah tekanan bagi pemerintah untuk mengakhiri perang. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari pemerintah Israel mengambil kebijakan yang tidak populer seperti menaikkan pajak dan memangkas belanja.
Namun di sisi lain, Perdana Menter Benjamin Netanyahu butuh mempertahankan koalisinya di parlemen. Terlebih lagi, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang memiliki haluan garis keras, menginginkan berlanjutnya perang hingga Hamas dihancurkan.
Karnit Flug mengatakan, kondisi saat ini sangat rentan dan koalisi pemerintah masih harus menghadapi pemangkasan belanja, seperti subsidi yang tidak populer terhadap sekolah ortodoks yang dianggap publik sebagai pemborosan.
"Publik akan menghadapi masa sulit menerima hal ini jika pemerintah tidak menunjukkan tingkat keparahan dari kondisi sekarang akan memaksa mereka untuk melepas sejumlah hal yang mereka perlukan," kata Flug.
Sementara Smotrich mengatak bahwa ekonomi Israel masih kuat dan berjanji akan merilis anggaran yang akan bisa melanjutkan dukungan yang dibutuhkan untuk melanjutkan perang, di saat yang bersamaan dengan mempertahankan kerangka fiskal dan mendorong mesin pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, tingkat pengangguran justru terus turun dari level 3,6 persen di Juli 2023 ke level 3,4 persen di Juli 2024, atau level terendah sebelum terjadinya perang. Namun, di luar jumlah relawan yang masuk dalam tentara cadangan, tingkat pengangguran di Israel naik ke level 4,8 persen, atau masih dianggap rendah dibandingkan negara - negara lain.
Selain itu, banyak usaha kecil yang terpaksa tutup karena pekerja maupun pemiliknya dipanggil untuk wajib militer. Sementara usaha lainnya berjuang di tengah perlambatan ekonomi.
Bahkan, hotel ikonik di Jerusalem, American Colony, yang merupakan tempat populer di kalangan politisi, diplomat, dan artis film, telah mengurangi karyawannya dan melakukan pemotongan upah.
"Kami bahkan sempat mempertimbangkan untuk menutup hotel selama beberapa bulan, tapi hal ini berarti akan mem-PHK seluruh karyawan," kata perwakilan hotel American Colony, Berkovitz.
Di tengah memburuknya perekonomian Israel, Jacob Sheinin mengaku cara terbaik untuk menopang dan memulihkan perekonomian adalah dengan menghentikan perang. "Namun, jika kami tetap keras kepala dan melanjutkan perang ini, (ekonomi) kami tidak akan bisa pulih," katanya. (AP)
Load more